Opini

Opini: Sastra dan Panggilan Keberpihakan

Hanya satu kata yang ditujukan bagi kekuasaan yang acapkali diselewengkan dan berlaku tidak adil, yakni “lawan!”

Editor: Dion DB Putra
kolase POS-KUPANG.COM
Ilustrasi. 

Di Indonesia, misalnya, karya besar ini dapat kita baca dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Semacam ada roh dan imajinasi-kreatif yang terus memacu penyair untuk menghasilkan karya sastra yang membumi dan berpihak pada kaum pinggiran.

Pertanyaannya sekarang, mengapa mesti membincangkan output sastra yang berpihak?

Modernisme: Proyek yang Belum Selesai

Dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya filsafat, modernisme lahir di tangan para pemikir Renaisans. Hal ini secara dominan berkembang dalam Cogito ergo sum-nya Rene Descartes. 

Dalam tradisi ini, ke-Aku-an manusia menjadi dominan. Setiap orang dibiarkan mencari dan menyangsikan berbagai hal yang menjadi pegangannya selama ini, membongkar status quo, serentak menggerogoti hidupnya yang ditandai dengan berbagai kepastian. 

Humanitas dan individualitas manusia pun mendapat posisi penting berhadapan dengan realitas. Dengan demikian, pembongkaran nilai dan tatanan tradisional, kepercayaan pada yang Ilahi, menjadi diskursus publik yang diperluas. 

Subjektivitas manusia diabaikan, serentak membangkitkan nalar objektif manusia. Singkatnya, setiap manusia diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berpikir dan bertindak secara otonom (Otto Gusti: 2015, Bahan Kuliah, STFK Ledalero, Maumere).

Di tengah otonomitas ini, manusia mampu memperoleh semua pengetahuan menggunakan rasio: segala sesuatu mampu ditafsir dan dijelaskan seturut pemahaman dan akal budi manusia. 

Modernisasi akhirnya identik dengan rasionalisasi, yakni pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional diubah dan dirombak dengan pola pikir dan tata kerja yang rasional (Nurcholis Madjid: 1997, hlm. 172). 

Segala sesuatu, bahkan kebenaran yang diwariskan secara turun-temurun disangsikan sedalam-dalamnya. Setiap manusia menjadi skeptis dengan apa yang ada. Ketunggalan narasi besar pada rasionalitas manusia inilah yang diyakini mampu menjawab setiap persoalan.

Ketunggalan narasi ini mengakibatkan kritik yang berkelanjutan. Muncullah aliran postmodernisme untuk mengakomodir narasi kecil, keadaan lokal. 

Bahwasanya gagasan modernisme yang mengagungkan pengetahuan akal budi dan teknosentris ini gagal dalam perkembangan. Atau, postmodernisme muncul untuk mengoreksi ketunggalan rasionalitas manusia yang dibawa oleh modernisme dan gagal (Emanuel Wora: 2006, hlm. 93).

Sebagaimana kelahiran modernisme, ada semacam tendensi atau kecenderungan superioritas dari orang-orang yang hidup di Dunia Pertama menganggap mereka yang tinggal di belahan Dunia Ketiga adalah orang-orang primitif dan terbelakang secara pengetahuan dan teknologi. 

Konsekuensi lanjutnya, mereka mesti “ditobatkan”. Perkembangan ilmu pengetahuan, yang “anak kandungnya” adalah teknologi, mesti “diindoktrinasikan” ke belahan dunia yang belum memiliki kecakapan
untuk mengembangkannya (Bdk. Ismail: 2004, hlm. 200).

Postmodernisme lahir untuk mengayomi narasi-narasi kecil berhadapan dengan narasi besar (grand narrative) yang dibawa oleh Dunia Barat. Postmodernisme hendak meninjau fenomena sosial yang beragam, tanpa berpegang pada narasi tunggal.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved