Opini

Opini: APBD Perubahan NTT, Ujian Komitmen pada Kesejahteraan Publik

Struktur pendapatan daerah NTT menunjukkan ketimpangan yang signifikan antara sumber internal dan eksternal. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Wilhelmus Mustari Adam 

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang

POS-KUPANG.COM - Pertengahan tahun 2025 menjadi momentum krusial bagi pengelolaan keuangan daerah di Nusa Tenggara Timur

Data publikasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (djpk.kemenkeu.go.id), menyajikan perkembangan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 23 Pemerintah Daerah (Pemda) di NTT per 16 Juli 2025 menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. 

Dari total pagu anggaran sebesar Rp 30,5 triliun, realisasi belanja baru mencapai Rp 7,3 triliun atau hanya 24,14 persen.

Kondisi ini menempatkan NTT pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, pemerintah daerah memiliki perencanaan anggaran yang cukup besar untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. 

Baca juga: Ombudsman Ungkap Risiko Nilai Fantastis Tunjangan DPRD NTT

Di sisi lain, lambatnya penyerapan anggaran berpotensi menghambat pencapaian target pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 

Momen penyusunan APBD Perubahan yang dijadwalkan pada Agustus hingga paling lambat 30 September 2025 menjadi harapan terakhir untuk melakukan koreksi dan percepatan realisasi anggaran.

Potret Realisasi Pendapatan Daerah: Ketergantungan yang Mengkhawatirkan

Struktur pendapatan daerah NTT menunjukkan ketimpangan yang signifikan antara sumber internal dan eksternal. 

Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru terealisasi  Rp 915,73 miliar dari pagu Rp 4,07 triliun atau 22,45 persen. 

Angka ini mencerminkan masih lemahnya kemandirian fiskal daerah-daerah di NTT.

Komponen PAD yang paling mengecewakan adalah retribusi daerah yang hanya mencapai 13,88 persen. 

Rendahnya realisasi retribusi mengindikasikan lemahnya kualitas pelayanan publik berbayar yang disediakan pemerintah daerah. 

Masyarakat enggan membayar retribusi karena tidak merasakan manfaat yang sebanding dengan yang mereka bayarkan.

Sebaliknya, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan justru menunjukkan kinerja terbaik dengan realisasi 52 persen. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved