Hukuman Penjara dan Restitusi Tak Bisa Gantikan Nyawa Transpuan Dessy Tafuli

Hukuman penjara bagi empat terdakwa dan restitusi untuk keluarga korban, tak bisa menggantikan nyawa transpuan Desy Aurelia Tafuli atau Oktovianus.

|
POS KUPANG/NOVEMY LEO
AKSI DAMAI – Aksi damai untuk transpuan Dessy Aurelia Tafuli, yang dilakukan Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi terhadap kelompok rentan, di Kejaksaan Negeri Kupang, Rabu (15/5). 

“Proses restitusi yang harus dimasukkan sejak dalam proses penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Namun hal ini terhambat karena tidak adanya kantor LPSK disini,” kritik Puput Joan Riwu Kaho.

Puput Joan Riwu Kaho, SH, MH, Pengacara Pembela HAM
Puput Joan Riwu Kaho, SH, MH, Pengacara Pembela HAM (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

Karena kewenangan penghitungan dan verifikasi untuk restitusi itu haruslah dilakukan oleh LPSK, sehingga ketiadaan Kantor LPK di Kupang NTT menjadi salah satu faktor lambatnya proses pengajuan restitusi dimaksud.  

“Yang disayangkan juga adalah proses birokrasi di LPSK membuat LBH APIK sebagai kuasa hukum dari keluarga korban harus terus melakukan koordinasi dengan LPSK yang berada di Jakarta. Hal ini memakan waktu lama,” jelas Puput Joan Riwu Kaho.

Dany Manu menambahkan, saat merespon restitusi korban, LPSK turun koordinasi langsung dengan pihak keluarga namun mekanismenya juga sangat lambat.

Barulah setelah diintervensi oleh LBH APIK, akhirnya pihak LPSK meresponnya untuk diajukan ke persidangan.  

Besaran restitusi yang diajukan ke persidangan itu sesuai perhitungan keluarga korban yang diverifikasi oleh LPSK, dengan nilai sebesar Rp 67.616.000.

Dalam persidangan, ada beberapa problem dimana korban atau keluarga korban tidak dapat menunjukkan beberapa bukti kerugian yang dialami.

Baca juga: Keluarga Transpuan Desy Tafuli Temui Jaksa di Kejari Kota Kupang, Berkas Tersangka P21

Meski demikian, kata Dany Manu, hal itu nanti akan diputuskan oleh majelis hakim di persidangan. Ketidaksesuaian sejumlah bukti kuitansi restitusi  yang diajukan LPSK itu, kata Dany Manu, tidak bisa menghapus kewajiban restitusi yang mesti diberikan oleh para terdakwa kepada keluarga Dessy Aurelia Tafuli.

“Hakim yang akan memutuskan nanti, besaran restitusi yang sudah diajukan oleh LPSK berdasarkan perhitungan LPSK. Bisa saja keputusan hakim nanti ada pengurangan atau  lebih,” kata Dany Manu.

Para pengurus LBH Apik, dari kiri ke kanan, Direktris LBH Apik, Ansi D Rihi Dara, S.H (mengenakan syal), Veronika Ata, Dany Manu dan Ester Day, dalam kegiatan catatan akhir Tahun 2013, Sabtu (18/1/2014).
Para pengurus LBH Apik, dari kiri ke kanan, Direktris LBH Apik, Ansi D Rihi Dara, S.H (mengenakan syal), Veronika Ata, Dany Manu dan Ester Day, dalam kegiatan catatan akhir Tahun 2013, Sabtu (18/1/2014). (POS KUPANG/ NOVEMY LEO)

Sementara itu, Adelaide Ratu Kore mengatakan, secara umum selama ini sikap Pemerintah Kota Kupang dan Provinsi NTT terhadap hak-hak kelompok minoritas gender dan seksual, masih bersifat netral untuk semua kelompok.

Sikap tersebut sebenarnya tidak tepat, apalagi ketika ada kelompok lain misalnya kelompok rentan yang mendapatkan tindak kekerasan akibat berbeda dengan kelompok umum.

Pada posisi ini, mestinya pemerintah memberikan keberpihakan kepada kelompok yang rentan itu.

"Wujud keberpihakan adalah pemerintah perlu membuat kebijakan yang memberikan perlindungan bagi kelompok yang termarginalkan, kelompok rentan,” saran Adelaide Ratu Kore.

Pengacara LBH APIK NTT, Ester Day, SH menambahkan, hingga kini di wilayah Kota Kupang masih banyak kelompok minoritas gender dan seksual yang belum mendapatkan jaminan atas hak asasinya.

Karena faktanya, demikian Ester Day, dalam pengamatan dan temuan LBH APIK NTT, menyebutkan, bahwa masih banyak kelompok minoritas gender dan seskual yang kesulitan mengakses hak bekerja, hak memperoleh pendidikan, dan hak jaminan sosial.

Direktris LBH APIK NTT, Ansy D Rihi Dara, SH bersama pengacara LBH APIK NTT, Puput Joan Riwukaho, SH, Ester Day, SH serta Kordinator devisi Perubahan Kebijakan, CHarisal Daniel Saduk Manu,S.Th, dan Kordinator Devisi Administrasi & Keuangan, Florina Lito Kelore,SE.
Direktris LBH APIK NTT, Ansy D Rihi Dara, SH bersama pengacara LBH APIK NTT, Puput Joan Riwukaho, SH, Ester Day, SH serta Kordinator devisi Perubahan Kebijakan, CHarisal Daniel Saduk Manu,S.Th, dan Kordinator Devisi Administrasi & Keuangan, Florina Lito Kelore,SE. (POS KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

“Karena kelompok rentan itu sering terlupa dalam pencatatan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) misalnya. Hak hak dasar ini juga yang jadi seruan advokasi dari teman-teman Jaringan Peduli HAM di Kota Kupang, agar ada affirmative action bagi kelompok minoritas gender dan seksual,” saran Ester Day.

Ester berharap, kedepan semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, LSM, pers dan pihak terkait lainnya,  agar bisa terus mengedukasi masyarakat tentang penghormatan akan keberagaman, khususnya bagi kelompok minoritas gender dan seksual.

Baca juga: Anaknya Diduga Terlibat Meninggalnya Transpuan di Kupang, Edi Kana Bungkam

Hal ini tentunya menjadi syarat mutlak dalam upaya mengurangi kasus-kasus berbasis kebencian terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.

“Kami berharap kedepan, tidak ada lagi kasus-kasus yang terjadi pada kelompok minoritas gender dan seksual dengan alasan kebencian terhadap mereka,” harap Ester Day.

SIDANG TRANSPUAN -- Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Oktovianus alias Desy Tafuli, usai sidang di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5).
SIDANG TRANSPUAN -- Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Oktovianus alias Dessy Aurelia Tafuli, usai sidang di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5). (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

Tragedi Mengenaskan bagi IMoF NTT

Sementara itu, Koordinator Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT, Ridho Herewila menegaskan, kehilangan nyawa salah seorang anggota IMoF NTT, Dessy Aurelia Tafuli, merupakan sebuah tragedi mengenaskan yang tidak dapat diukur dengan nilai materi atau kompensasi finansial apapun.

“Kehilangan nyawa seseorang memiliki dampak yang mendalam dan abadi bagi keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Tidak ada jumlah uang atau restitusi yang dapat menggantikan nilai sejati dari kehidupan manusia yang hilang,” tegas Ridho Herewila, Minggu (2/6).

Ridho Herewila mengatakan, meskipun restitusi dapat memberikan bantuan finansial kepada keluarga korban dan mungkin memberikan sedikit bantuan dalam proses pemulihan.

Namun, nilai sejati dari kehidupan manusia tidak akan dapat diukur dengan uang, restitusi itu.

Koordinator IMoF NTT Ridho Herewila
Koordinator IMoF NTT Ridho Herewila (POS-KUPANG.COM/HO)

“Dalam kasus kematian Dessy, restitusi mungkin hanya merupakan satu aspek dari proses keadilan dan pemulihan, sementara nilai sejati dari kehidupan yang hilang tidak dapat diukur dengan nilai financial,” kata Ridho Herewila.

Dalam konteks keadilan dan tanggung jawab, restitusi dapat dianggap sebagai langkah awal untuk memperbaiki kerugian yang telah terjadi, salah satu bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari pelaku terhadap tindakan yang telah dilakukannya.

Menurut Ridho, restitusi dapat membantu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya.

Namun, tentu saja nilai nyawa manusia tidak dapat digantikan dengan apapun.

Baca juga: IMoF NTT Minta JPU Tuntut Maksimal Terdakwa Kasus Pembunuhan Transpuan Desi

“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menghargai dan menjaga kehidupan manusia sebagai hal yang paling berharga,” kata Ridho Herewila.

Lebih lanjut Ridho Herewila mengkritisi APH dalam menangani kasus transpuan Dess Aurelia Tafuli. Ridho menilai APH belum maksimal menjalankan tugas dan fungsinya karena hal itu terlihat dari sejumlah hal-hal berikut.

IMOF NTT - Ketua IMoF NTT, Ridho Herewila bersama anggota serta orangtua dan Pdt Emi Sahertian, dalam Family Gathering IMoF NTT, di Kupang, Sabtu (27/1).
IMOF NTT - Ketua IMoF NTT, Ridho Herewila bersama anggota serta orangtua dan Pdt Emi Sahertian, dalam Family Gathering IMoF NTT, di Kupang, Sabtu (27/1). (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

Menurut Ridho Herewila, Polisi mestinya bisa memastikan penanganan kasus Desy Aurelia Tafuli itu dilakukan secara profesional, tanpa diskriminasi berdasarkan identitas gender atau seksual korban.

Polisi  juga mestinya memberikan perlindungan dan dukungan kepada keluarga korban serta saksi-saksi yang terlibat dalam kasus.

“Harusnya Polisi melakukan penyelidikan menyeluruh dan mendalam terhadap kasus kekerasan yang berakibat kematian, termasuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.

Namun hingga kini, salah satu saksi  yakni tukang ojek, yang menjadi pemicu pertengkaran bersama Dessy, belum diketahui keberadaannya dimana,” ungkap Ridho Herewila.

Pada tingkat kejaksaan, Ridho Herewila mengatakan, Jaksa mestinya juga bisa memastikan proses penyidikan dan penuntutan dilakukan secara adil, maksimal dan transparan.

Penuntutan jaksa seharusnya bisa dilakukan tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Diskusi Komunitas Independent Men of Flobamora (IMoF) NTT bersama SADKKM alias Solidaritas Anti Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Kelompok Minoritas, mendiskusikan tentang kasus pembunuhan transpuan Dessy Aurelia Sasmita alias Oktovianus Tafuli yang terjadi tanggal 24 Desember 2023 lalu.
Diskusi Komunitas Independent Men of Flobamora (IMoF) NTT bersama SADKKM alias Solidaritas Anti Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Kelompok Minoritas, mendiskusikan tentang kasus pembunuhan transpuan Dessy Aurelia Tafuli alias Oktovianus Tafuli yang terjadi tanggal 24 Desember 2023 lalu. (POS KUPANG/ROSALIA ANDRELA)

Jaksa juga mesti menyediakan bantuan hukum yang memadai bagi keluarga korban dan memastikan kepentingan mereka diwakili dengan baik selama proses hukum.

“Namun, faktanya, penanganan kasus transpuan Dessy ini terkesan bertele-tele. Proses penuntutannya, pembuatan dakwaan, dilakukan sangat lama, pasal yang digunakan pun hanya pasal tunggal,” kritik Ridho Herewila.

Baca juga: Doa Bersama Keluarga dan Kerabat Transpuan Dessy di Kupang 

Pada tingkat pengadilan pun, Ridho Herewila mengatakan, hakim juga harus bisa memastikan agar persidangan berjalan secara adil, transparan, dan maksimal.

Tak boleh ada diskriminasi terhadap korban berdasarkan identitas gender atau seksualnya. 

“Kami berharap hakim memiliki pemahaman yang cukup tentang isu-isu gender dan seksualitas untuk bisa memastikan putusan yang adil. Termasuk bisa memberikan vonis hukuman yang setimpal dan maksimal kepada empat terdakwa, demi keadilan bagi korban serta keluarganya,” harap Ridho Herewila.

DESSY TAFULI -- Transpuan Dessy Aurelia Tafuli alias Oktvianus Tafuli (tengah), semasa hidupnya, berfoto bersama dengan teman-teman Komunitas Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT.
DESSY TAFULI -- Transpuan Dessy Aurelia Tafuli alias Oktovianus Tafuli (tengah), semasa hidupnya, berfoto bersama dengan teman-teman Komunitas Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT. (POS KUPANG/HO IMOF NTT)

Menurut Ridho Herewila, dengan adanya keputusan atau vonis hakim yang makismal maka akan bisa memberi efek jera bagi pelakunya.

Juga bisa memberi pelajaran kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan diskriminasi dan penganiayaan terhadap transpuan atau kelompok rentan lainnya.

“Dengan penanganan proses hukum yang profesional, adil, dan APH nya sensitif terhadap isu-isu gender, maka keadilan dapat terwujud bagi korban dan keluarganya. Serta bisa mendorong pencegahan terhadap tindakan kekerasan berbasis gender di masa depan,” kata Ridho Herewila.

JPU : Penanganan Hukum Tak Bedakan Gender

JPU Frince W. Amnifu, SH, ditemui Pos Kupang, di PN Kelas 1 Kupang, mengatakan, Jaksa menuntut terdakwa Richie Vannes Kana dan Alan Manafe dengan tuntutan 11 tahun penjara dari hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Menurut Frince Amnifu, dalam peorses hukum, pihaknya berlaku adil dan tidak ada perbedaan tuntutan hukuman bagi dua terdakwa itu.

Frince Amnifu menjelaskan, dalam fakta persidangan di PN Kupang itu terungkap bahwa tindakan paling fatal yang menyebabkan Dessy Aurelia Tafuli meningggal dunia adalah karena pemukulan menggunakan batang bambu yang dilakukan oleh terdakwa Alan Manafe ke bagian kepala Dessy Aurelia Tafuli.

Frince W. Amnifu, SH, salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang yang menangani perkara kasus kematian transpuan Desy Aurelia Tafuli, yang menyeret empat terdakwa.
Frince W. Amnifu, SH, salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang yang menangani perkara kasus kematian transpuan Dessy Aurelia Tafuli, yang menyeret empat terdakwa. (POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO)

Sementara terdakwa Richie Vannes Kana, serta dua terdakwa anak yakni BEK dan MAPBO, melakukan pemukulan menggunakan tangan dan kaki. 

“Pertimbangan jaksa, jika Richie tidak memulai memukuli korban, maka tentu tidak ada tindakan berikutnya yang dilakukan Alan dan terdakwa lainnya. Karena itu, dua terdakwa dewasa itu dikenakan tuntutan yang sama yakni 11 tahun. Kami berharap vonis majelis hakim sama dengan tuntutan kami,” harap Frince Amnifu.

Terkait penggunaan pasal tunggal terhadap dua terdakwa dewasa Alan Manafe dan Richie Vannes Kana, yakni Pasal 170 ayat (3) atau penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, Frince Amnifu menegaskan, pasal tersebut sudah tepat.  Sebab, para terdakwa menganiaya korban Dessy Aurelia Tafuli hingga meninggal dunia.

Baca juga: Begini Komentar Akademisi Unwira Kupang Terkait Meninggalnya Transpuan di Kupang 

Untuk pengajuan restitusi, Frince Amnifu berharap majelis hakim PN Kupang bisa mempertimbangan dengan baik besaran restitusi bagi keluarga korban yang diajukan LPSK ke persidangan.

Jikapun ada ketidaksesuaian sejumlah kuitansi terkait restitusi yang diajukan dengan fakta sebenarnya, menurut Frince Amnifu, hal itu akan menjadi pertimbangan majelis hakim.

“Hakim tentu akan memutuskan vonis yang sesuai dengan fakta persidangan. Begitu pun terkait restitusi, hakim memeriksa restitusi itu dan akan memutuskan berapakah restitusi yang harus dibayarkan oleh keempat terdakwa kepada keluarga korban,” jelas Frince Amnifu, Senin (3/6).

Terkait korban Dessy Aurelia Tafuli yang adalah transpuan, Frince Amnifu memastikan, pihaknya tidak pernah membeda-bedakan dalam penanganan kasus atau perkara hukum berdasarkan perbedaan gender atau jenis kelamin atau perbedaan lainnya.

TERDAKWA – Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Desy Tafuli, saat keluar ruang sidang usai pembacaan tuntutuan JPU di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5).
TERDAKWA – Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Dessy Aurelia Tafuli, saat keluar ruang sidang usai pembacaan tuntutuan JPU di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5). (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

“Dimata hukum semua sama, mau dia itu korban atau terdakwa, kami aparat penegak hukum akan memberlakukan hal yang sama. Tidak ada perbedaan perlakuan bagi para pihak terkait dalam proses hukum. Siapapun yang bersalah, siapapun korbannya, diperlakukan secara sama. Dasar kami adalah peraturan perundangan yang berlaku, bukan karena perbedaan gender atau apapun,” tegas Frince Amnifu.

Baca juga: Komunitas Fitun Malaka Minta Polda NTT Usut Tuntas Kasus Transpuan di Kupang

Ditanya apakah penganiayaan itu terjadi lantaran para terdakwa mengetahui bahwa Dessy Aurelia Tafuli seorang transpuan, Frince Amnifu mengatakan, sejauh ini fakta persidangan tidak menunjuk ke arah itu. Kejadiannya terjadi secara spontan.

Namun, kata Frince Amnifu, ada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa awal mula para terdakwa mengira yang bertengkar itu adalah sepasang kekasih, laki-laki dan perempuan.

Ketika para terdakwa menghampiri ingin melerai, tukang ojek yang saat itu bertengkar dengan Dessy Aurelia Tafuli, mengatakan bahwa Dessy Aurelia Tafuli adalah transpuan dengan menyebutkan kata dia Ban**.

Tetapi, terdakwa mengaku menganiaya Dessy Aurelia Tafuli lantaran korban terus berbicara dan bertengkar.

Sementara itu, Ishak Lalang Sir, SH selaku tim pengacara dari terdakwa Richie Vannes Kana, masih enggan berkomentar terkait tuntutan JPU dan restitusi yang diajukan keluarga korban melalui LPSK tersebut.

Hampir dalam setiap kali hendak dikonfirmasi Pos Kupang, Tim pengacara terdakwa selalu menolak berkomentar dengan alasan, kasus ini adalah kasus sensitive. 

“No coment, karena ini kasus sensitive,” kata Ishak Lalang Sir, saat ditemui di depan Gedung PN Kupang, Kamis (16/5) siang.

Begitupun, Eldi Kana, orangtua dari terdakwa Richie Vannes Kana dan BEK, juga enggan memberikan komentar terkait kasus kematian trasnpuan Dessy Aurelia Tafuli yang melibatkan dua anaknya tersebut.

SIDANG TRANSPUAN -- Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Oktovianus alias Desy Tafuli, usai sidang di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5).
SIDANG TRANSPUAN -- Richie Vannes Kana dan Alan manafe, dua dari empat terdakwa kasus pembunuhan transpuan Oktovianus alias Dessy Aurelia Tafuli, usai sidang di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5). (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

Sebelumnya, dakwaan JPU yang dibacakan dalan persidangan di PN Kupang menyebutkan, terdakwa anak, BEK membuka lapak jualan petasan di Jalan Amabi, Kota Kupang, dekat tempat tinggalnya.

Selanjutnya, para terdakwa dewasa yakni Alan Manafe, Richie Vannes Kana (kakak kandung dari BEK) dan terdakwa anak BEK dan MAPBO, berkumpul dan mengonsumsi minuman keras, tanggal 22 Desember 2023 malam.

Pada dini hari 23 Desember 2023, tepatnya pukul 02.00 Wita, mereka mendengar ada pertengkaran antara Dessy Aurelia Tafuli dengan seorang ojek yang terjadi di depan ruko baru, tak jauh dari lapak jualan BEK itu.

Pemicu pertengkaran itu - menurut pengakuan terdakwa - karena Dessy Aurelia Tafuli membayar Rp 5 ribu setelah diantar tukang ojek ini dari Kelurahan Sikumana ke Kelurahan Tofa, Kota Kupang.

Baca juga: 7 Saksi Dihadirkan Dalam Sidang Kedua Kematian Transpuan di Kupang

Para terdakwa, Richie Vannes Kana, Alan Manafe, BEK dan MAPBO kemudian menghampiri  Dessy Aurelia Tafuli dan tukang ojek dimaksud.

Kemudian Richie Vannes Kana menegur keduanya dan Dessy Aurelia Tafuli tak terima dengan teguran tersebut.

Richie Vannes Kana lantas memukul Dessy Aurelia Tafuli satu kali di pelipis kiri korban.

Lalu MAPBO memukul Dessy Aurelia Tafuli sebanyak dua kali.

Selanjutnya, BEK melayangkan satu kali tendangan ke tubuh Dessy Aurelia Tafuli.

Usai melakukan penganiayaan itu, terdakwa lain hendak meninggalkan Dessy Aurelia Tafuli.

Namun terdakwa Alan Manafe mengambil bambu yang ada di sekitar tempat itu lalu menggunakan bambu itu untuk memukuli bagian kepala Dessy Aurelia Tafuli.

Para terdakwa kemudian mengumpulkan barang bawaan Dessy Aurelia Tafuli serta barang bukti bambu itu.

Kemudian atas ide Alan Manafe, mereka bersama-sama membawa barang tersebut ke kolam di wilayah Tofa, Kota Kupang, tak jauh dari TKP.

Disana, Alan Manafe menyuruh para terdakwa untuk menghilangkan barang bukti itu dengan cara membakar barang bukti tersebut.

SOLIDARITAS – Tim LBH APIK NTT dan Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi terhadap kelompok rentan, usai sidang pembacaan Tututan JPU atas perkara pembunuhan transpuan Desi Tafuli, di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5).
SOLIDARITAS – Tim LBH APIK NTT dan Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi terhadap kelompok rentan, usai sidang pembacaan Tututan JPU atas perkara pembunuhan transpuan Dessy Aurelia Tafuli, di Pengadilan Negeri Kupang, Kamis (16/5). (POS KUPANG/NOVEMY LEO)

Setelah itu, Alan Manafe mengajak terdakwa lain pergi mencari orang pintar atau dukun untuk bisa meredam masalah tersebut namun mereka gagal menemui orang tersebut. Mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Pada pagi hari itu juga, tanggal 23 Desember 2024 sekitar pukul 07.00 Wita, Dessy Aurelia Tafuli ditemukan oleh masyarakat sudah merenggang nyawa di TKP.

Temuan itu dilaporkan ke Polisi dan aparat kepolisian tiba di TKP dan membawa korban ke Rumah Sakit Leona Kupang.

Namun setelah beberapa jam dirawat di RS Leona Kupang, transpuan Dessy Aurelia Tafuli meninggal dunia.

Kemudian, jenazah Dessy Aurelia Tafuli disemayamkan di rumah Pelangi, IMoF NTT di BTN Kolhua, Kota Kupang.     

Baca juga: Jaksa Jamin Tuntut Hukuman Maksimal Bagi Terdakwa Perkara Pembunuhan Transpuan di Kupang NTT

Selanjutnya, pada tanggal 24 Desember 2024 subuh, jenazah Dessy Aurelia Tafuli dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) Titus Uly Kupang, untuk diotopsi.

Hasil hasil otopsi terhadap jenazah Dessy Aurelia Tafuli menyebutkan, ada memar di dada dan kepala. Fatalnya, ada retak dan patah pada tulang tengkoraknya akibat benda tumpul.

DESSY TAFULI -- Transpuan Dessy Aurelia Tafuli alias Oktovianus Tafuli (berdiri kedua dari kiri), semasa hidupnya, berfoto bersama dengan teman-teman Komunitas Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT. (POS KUPANG/HO IMOF NTT)
DESSY TAFULI -- Transpuan Dessy Aurelia Tafuli alias Oktovianus Tafuli (berdiri kedua dari kiri), semasa hidupnya, berfoto bersama dengan teman-teman Komunitas Independen Men of Flobamorata (IMoF) NTT. (POS KUPANG/HO IMOF NTT) (POS-KUPANG.COM/IMOF NTT)

Luka di kepala ini menyebabkan darah menggumpal dan rusaknya jaringan otak. Akibatnya, transpuan Dessy Aurelia Tafuli meninggal dunia.

Usai Otopsi, tanggal 24 Desember 2024 petang, jenasah Desi Aurelia Tafuli dibawa keluarga ke kampung halamannya, di Desa Ayotupas, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provins NTT.

Di kampungnya itu, dengan dihadiri sejumlah anggota keluarganya, transpuan Dessy Aurelia Tafuli dimakamkan disana. (omdsmy novemy leo)

 

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved