Opini

Opini: Anton Enga Tifaona Tidak Pantas Jadi Pahlawan?

Saya harus mempelajari seluruh perjalanan hidupnya untuk kemudian bisa menyimpulkan pantas tidaknya seseorang menjadi pahlawan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Rapat tim peneliti dan pengkaji gelar daerah (TPG2D) tingkat Provinsi NTT dalam rangka usulan pahlawan nasional atas nama Brigjen Pol Drs Anton Enga Tifaona yang digelar di Aula Dinas Sosial NTT, Rabu (6/3/2024). 

Oleh: Robert Bala
Tim Penyusun Naskah Akademik Brigjen Pol Anton Enga Tifaona

POS-KUPANG.COM - Ia baru wafat Minggu 15 Oktober 2017 di usia 83 tahun. Apakah bisa menjadi pahlawan nasional? Lebih lagi, untuk NTT saja baru 3 orang jadi pahlawan nasional: Izaak Huru Doko, Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, Wilhemus Zakaria Johan.

Di level nasional, sejak penganugerahan pertama kali pahlawan nasional tahun 1959 kepada Abdul Muis, Ki Hajar Dewantoro, dan RM Surjopranoto, baru ada 206. Apa mungkin Anton Enga Tifaona menjadi pahlawan nasional ke 207?

Pertanyaan ini menjadi makin ‘panas’ karena ada figur NTT yang diharapkan jadi pahlawan tetapi sampai saat ini belum berhasil: Frans Seda, Ben Mboy, El Tari, sekadar menyebut tiga nama besar. Karena itu banyak orang beranggapan, Anton Enga Tifaona belum pantas menjadi pahlawan nasional.

Saya termasuk dalam golongan orang yang meragukan hal ini. Saat diadakan seminar dan aneka proses lainnya, saya hanya melihat sebelah mata terhadap pria kelahiran Imulolo 1 Agustus 1934. Tetapi seperti ‘dijebak’ dalam perangkap.

Di awal April, Putera sulung Anton Enga Tifaona, Thomas Simon Petrus Nuba Tifaona untuk masuk dalam tim pembuat Naskah Akademis. Ini adalah bagian terpenting dengan penilaian terbesar untuk pemrosesan seorang menjadi pahlawan.

Di sana selain melacak masa kecil, masa belajar, masa berkarya dan masa purna bakti menjadi tugas utama.

Tentu saja saya berkeberatan awalnya. Tetapi rupanya penolakan saya bisa dijawab dengan baik sehingga tidak ada pilihan selain masuk dalam tim.

Lebih lagi saya diberikan materi yang sangat sentral tentang karir setelah purnabakti dari Polri dan memberikan argumentasi mengapa Anton Enga Tifaona bisa jadi pahlawan. Mati sudah.

Saya harus mempelajari seluruh perjalanan hidupnya untuk kemudian bisa menyimpulkan pantas tidaknya seseorang menjadi pahlawan.

Untuk sampai pada titik ini saya meninggalkan semua prasangka dan asumsi yang sudah ada sebelumnya. Saya lalu membiarkan diri untuk membaca riwayat hidup orang yang merupakan Kapolres dan Dantarres (setingkat Kapolda) dari Angkatan PTIK.

Lebih lagi ketika mengetahui bahwa bahkan ketika menjadi siswa kelas 2 SD sudah diminta jadi guru kepada teman-temannya yang ada di Boto – Lembata. Ia juga jadi guru saat menjadi mahasiswa Sekolah Polisi Negara di Sukabumi.

Dengan beberapa data ini saya pun mulai bertanya. ‘Sehebat apa sih AET sehingga bisa begitu menonjol sejak dari kampung halamannya hingga ketika bertugas di berbagai tempat di Indonesia: Jadi Dantarres (setingkat Kapolda) di Timor Timur saat baru bergabung dengan Indonesia, Kapolda Maluku, Kapolda Sulawewi Utara dan Tengah, dan juga Wakapolda beberapa bulan di Jawa Barat?

Saya terkejut. Ternyata orang yang saya klaim ‘tak pantas’ itu memaparkan dirinya begitu hebat di mata saya (yang angkuh ini). Saya menemukan nilai-nilai luar biasa yang ia hidupi, tunjukkan, dan ingin agar nilai itu tetap Lestari.

Karena itulah ia menulis otobiografinya dengan judul: Hidup, Perjuangan, dan Pengabdian Brigjen Pol Anton Enga Tifaona, Pro Deo et Patria (Untuk Tuhan dan Tana Air), Editor Stanis Soda Herin, Edisi November 2014.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved