Opini
Opini: Anton Enga Tifaona Tidak Pantas Jadi Pahlawan?
Saya harus mempelajari seluruh perjalanan hidupnya untuk kemudian bisa menyimpulkan pantas tidaknya seseorang menjadi pahlawan.
Ketika berpindah ke Surabaya, ia menangani langsung sosialisasi pemakaian helm dengan mewajibkan jalan yang ‘wajib helm’ yang kemudian diperluas hingga akhirnya Kapolri mengadopasi pendekatan AET sebagai pola yang perlu diikuti secara nasional.
Singkatnya, bagi AET tidak ada yang tidak bisa. Di kota besar ia mampu, di daerah terluar, tertinggal, dan terpinggir, ia menjadi inspirator.
Tidak hanya itu. Saat purnatugas dan tinggal dirinya, ia masih tunjukkan bahwa ema situ tetap ada pada pribadinya. Saat bertugas 6 tahun di Dewan Pertahanan dan Keamanan (Hankam), ia hadir untuk turut merancang bagaimana mengisi kemerdekaan dengan bertugas memberikan masukan tentang GBHN khusus bidang sosial dan budaya.
Inilah bidang yang ia jiwai dan telah masuk ke dalam tulang dan sum-sum hidupnya.
Ketiga, bagi Anton Enga Tifaona yang berkarya tanpa pamrih dan lupa diri, gelar pahlawan itu tidak penting. Bahkan ketika ia sudah berikan segalanya dan seharusnya naik pangkat sebagai Jenderal pun ia hanya pasrah. Ia ‘parkir’ di gelar kolonel untuk waktu yang terlalu lama.
Ironisnya, ketika ia harus dinaikkan pangkatnya dengan menjadi Kapolda, ternyata golongan Kapolda yang awalnya B diturunkan menjadi C agar pangkat AET sebelumnya dainggap ‘pantas’. Dalam arti ini tidak ada
manfaatnya bagi AET dengan menjadi pahlawan.
Tetapi manfaat justru dinikmati rakyat yang diperjuangkan dan dibelanya tidak saja ‘mati-matian’ tetapi sungguh bantuan yang menghidupkan. Dalam keadaan yang kritis seperti itu ia masih tetap memberi inspirasi agar tantangan yagn dihadapi tidak menjadi halangan apapun.
Bahkan kalau boleh, semakin ditantang dan dikekang, kreativitas itu keluar sebagai jawabannya.
Karena itu gelar pahlawan bagi Anton Enga Tifaona seakan membenarkan apa yang dikatakan oleh Bernie Siegel.
Bagi penulis Amerika dan pensiunan ahli bedah anak, yang menulis tentang hubungan antara pasien dan proses penyembuhan: “Embrace each challenge in your life as an opportunity for self-transformation.” (Rangkullah setiap tantangan dalam hidup Anda sebagai peluang untuk transformasi diri).
Inilah makna yang tidak sedikit dinikmati banyak orang bila gelar pahlawan itu bisa segera disaksikan di negeri ini. Sebuah gelar tidak saja bagi Lembata, tetapi bagi banyak daerah tertinggal yang bakal menginspirasi agar dari berbagai sudut negeri ini.
Dari sana bakal terlahir pejuang yang tidak melihat tantangan sebagai akhir tetapi merupakan awal. Selamat datang Anton Enga Tifaona menginspirasi negeri ini. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.