Opini
Opini: Anton Enga Tifaona Tidak Pantas Jadi Pahlawan?
Saya harus mempelajari seluruh perjalanan hidupnya untuk kemudian bisa menyimpulkan pantas tidaknya seseorang menjadi pahlawan.
Tidak hanya itu. Sehari setelah pensiun, AET kedapatan betapa sederhana dan miskinnya. Rumahnya yang dari dulu sementara anak-anaknya yang tertua baru 23 tahun dan si bontot 11 tahun belum bisa mandiri.
Di sana ketahuan bahwa selama bertugas, meski ada godaan untuk bisa menumpuk harta tetapi itu bukanlah AET yang terkenal jujur dan konsisten pada perjuangan.
Layak dan Pantas
Apa yang menonjol bahkan sangat menonjol sehingga AET layak jadi pahlawan nasional? Apa nilai yang ia tinggalkan? Hal utama yang ia bawa sejak dari Imulolo adalah kesadaran bahwa dia menjadi penentu sejarah dan bukan keadaan.
Kondisi yang berat di Imulolo dan Lamalera yang lebih dipenuhi batu daripada tanah tidak menjadi kendala. Baginya, bukan alam yang jadi penentu tetapi diri pribadilah penentu.
Karena itu yang ada dalam benaknya hanyalah berjuang dan memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya untuk bisa mendaki (dengan tipe climber) jauh dari sekadar menyerah (quitters) atau campers yang hanya puas diri. Ia tunjukkan di usia yang sangat dini dengan menjadi guru bagi teman-temannya.
Ia tidak berhenti di situ. Dengan usia sangat belia ia melanjutkan kelas 4 di Larantuka dan kemudian ke Seminari Mataloko (SMP) lalu lanjut lagi ke SMAK Syudarikara (angkatan pertama).
Di semua tempat ia berada, ia selalu hadir sebagai penentu sejarah. Kedisiplinan berpikir kemudian diperkuat dengan pengembangan kepribadian di luar kelas tepatnya di lapangan sepak bola. Di situ ia hadir sebagai penentu.
Ia bisa berjaya melalui sepak bola dan dari olahraga ini ia belajar bagaimana ‘menggiring’ dirinya di tengah perjuangan hidup. Cinta pada olahraga ini yang juga menjadi salah satu faktor mengapa ia bisa dikenal saat menjadi siswa di Sekolah Polisi Negara di Sukabumi.
Pemahaman tentang diri sebagai pemeran dan bukan keadaan akan menjadi sangat inspiratif diteladani kalau AET menjadi pahlawan. Tidak saja dari Lembata tetapi banyak anak dari daerah 3T di seluruh Indonesia akan terinspirasi.
Mereka tahu bahwa republik ini bisa mendapatkan sumbangsih yang besar dari mereka yang berada di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tetapi khsusus Lembata ia memang sudah tunjukkan sebagai Ketua Tim hingga menjadikan Lembata sukses jadi kabupaten sendiri di tahun 1999.
Kedua, AET memberikan pembelajaran tentang cara untuk memperoleh tujuan. Cara yang tidak dicapai dengan kekerasan. Meminjam istilah diplomasi antar negara, jauh dari ‘hard diplomacy’ (diplomasi keras). Ia justru mengedepankan ‘soft diplomacy’ atau diplomasi lunak.
Itu ia tunjukkan saat jadi Dantarres Timor Timur yang baru bergabung dengan Indonesia saat itu. Luka akibat penjajahan, dan ‘nafsu Indonesia’ yang mau mempercepat pembangunan fisik dan wajah militer tidak ramah di mata orang Timor Timur dengan pendekatan militernya menjadi tantangan.
Di situ AET menggunakan pendekatan sosial budaya untuk menyapa, menggugah, dan menyentuh hati. Di antara banyak diplomasi lunak, ia gunakan sepak bola. Tim sepak bola dibawa ke Kupang dan Larantuka untuk membangun kedekatan dengan orang NTT yang merupakan saudara terdekat.
Saat jadi Kapolda Maluku, ia melihat kondisi masyarakat yang berada di pulau-pulau tidak bisa mengakses lembaga peradilan. Ia pun menginsiasi pengadilan terapung hanya demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.