Opini
Opini: Siapa yang Tidak Tahu Diri? Sebuah Tanggapan atas Tulisan Robert Bala
Ketidakjelasan itu terletak pada topiknya, “pemegang kekuasaan,” dan pada fokusnya, “tidak tahu diri”. Mengapa tidak jelas?
Oleh Feliks Tans
Dosen FKIP Undana/Fulbrighter di New York, 2008-2009
POS-KUPANG.COM - Seperti tereksplisit dari judulnya, tulisan ini tanggapan kritis saya atas opini Robert Bala (RB) yang berjudul “Tidak Tahu Diri” pada Harian Umum Pos Kupang (Selasa, 9 April, 2024, hlm. 2). Opini RB itu, menurut saya, mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut saya sampaikan berikut dalam tautannya dengan pernyataan tesis (PT) sebuah opini.
PT RB dalam opini itu tidak jelas. Sebuah opini, kita tahu, harus memiliki sebuah PT yang, biasanya, terdiri dari topik dan fokus yang dinyatakan secara eksplisit atau implisit dalam sebuah opini. Dalam tulisannya, PT RB dinyatakan secara implisit pada simpulan tulisannya, yaitu bahwa “pemegang kekuasaan … tidak tahu diri” dalam melaksanakan kekuasaannya. Lalu apa ketidakjelasannya?
Ketidakjelasan itu terletak pada topiknya, “pemegang kekuasaan,” dan pada fokusnya, “tidak tahu diri”. Mengapa tidak jelas? Mari kita mulai dengan menganalisis topiknya. Apa atau, lebih tepat, siapa yang RB maksudkan dengan topik tersebut?
Itu menimbulkan pertanyaan karena, dalam sebuah negara demokratis seperti Indonesia, kita tahu, ada tiga pemegang utama kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan judikatif. Apakah yang RB maksudkan ketiganya? Jika ya, ini, tentu, sebuah tuduhan yang berlebihan. Semuanya “tidak tahu diri”? Tentu saja tidak.
Pada masa Orba sekalipun ada banyak, kita tahu, pemegang kekuasaan yang sangat “tahu diri” karena kejujurannya seperti Frans Seda, pernah menjabat, antara lain, Menteri Keuangan, Hoegeng Iman Santoso, Kapolri ke-5, dan, kini, Presiden Jokowi sendiri.
Jika RB hanya “menuding” pemegang kekuasaan sebagai eksekutif, itu juga tidak jelas. Apa maksudnya? Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa sekaligus? Jika itu maksudnya, apakah betul semuanya “tidak tahu diri”? Saya pikir, tidak. Mengatakan bahwa semua mereka “tidak tahu diri,” tentu, salah.
Atau apakah yang dimaksudkan RB adalah Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi Indonesia? Dilihat dari alur pikir RB, dari kata pertama hingga kata terakhir opininya, saya mengambil simpulan bahwa pemegang kekuasaan yang dia masudkan itu adalah Jokowi.
Jika benar, benarkah Jokowi “tidak tahu diri”. RB tidak menyebut Jokowi secara eksplisit dalam tulisannya. Namun jika dilihat dari keseluruhan argumennya, RB, sepertinya, “menuduh” Jokowi sebagai “pemegang kekuasaan” yang “tidak tahu diri” itu.
Baca juga: Romo Magnis dan Kotbah Paskah di Mahkamah Konstitusi
Tuduhan tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa RB mengutip “kehebatan” Romo Frans Magnis Suseno (FMS) – seorang filsuf besar Indonesia yang sangat saya kagumi – di awal tulisannya yang, antara lain, mendapat penghargaan bergengsi dari Presiden Jokowi: Bintang Maha Putera.
Juga diperkuat dengan penyebutan beberapa tokoh besar agama pada alinea ketiga dan kedua dari akhir tulisannya. Pada alinea kedua dari akhir itu, misalnya, RB menulis, ”Mereka (para tokoh agama itu, termasuk Romo FMS) lahir pada saat agama dikerdilkan sekadar ritual sementara penguasa semau gue mempraktikkan pemerintahan semaunya. Di situlah esensi moral ditegakkan.”
Selain ketidakjelasan topiknya, fokus pernyataan tesis tersebut juga tidak jelas. “Tidak tahu diri” itu dalam hal apa? Apakah semua pemegang kekuasaan yang saya sebut di atas, memang, “tidak tahu diri”? Eksekutif, legislatif, dan judikatif? Pemerintah dari pusat hingga ke desa? Presiden sendiri tidak tahu diri? Jelas sangat tidak jelas, bukan?
Namun, seperti yang disebutkan di atas, “pemegang kekuasaan” yang “tidak tahu diri” itu, menurut RB, Jokowi. Persoalannya adalah apakah itu betul?
Secara implisit, RB mengutip lima poin utama pernyataan Romo FMS dalam kapasitasnya sebagai seorang saksi akhli dalam Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2024 yang mendukung Paslon 02 Itu – yaitu pendaftaran GRBR sebagai Cawapres oleh KPU yang dinilai melanggar etika, keberpihakan presiden dan misuse of power, nepotisme, pembagian bantuan sosial, dan manipulasi dalam proses Pemilu – sebagai dasar RB untuk menuding Jokowi sebagai pihak yang “tidak tahu diri” itu. Persoalannya adalah beralasankah penggunaan lima poin Romo FMS untuk, lalu, menuding Jokowi “tidak tahu diri”?
Itu, menurut saya, tidak beralasan. Sebab yang Romo FMS sampaikan dalam sidang tersebut lebih sebagai “kondisi” yang membuat seorang pejabat publik tidak lagi “beretika” dalam menjalankan tugasnya. Itu sebabnya, Romo FMS menggunakan kalimat syarat. Kalimat syarat, kita tahu, tentu, berbeda atau tidak sama dengan “tuduhan.” Memahami itu penting. Sebab menuduh harus berdasarkan bukti, apalagi kalau tuduhan itu diberikan oleh seorang filsuf besar sekelas Romo FMS.
Baca juga: Opini: Tidak Tahu Diri
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.