Opini
Romo Magnis dan Kotbah Paskah di Mahkamah Konstitusi
Romo Magnis lahir tahun 1936 dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Niederschlesien. Ia menjalani masa kecil, pendidikan dasar dan menengah di sana.
Oleh Stefanus Wolo Itu
POS-KUPANG.COM - Saya belum pernah bertemu Romo Magnis Suseno. Tapi saya "mengenalnya“ sejak awal kuliah filsafat di STFK Ledalero Maumere Flores tahun 1990. Ya, melalui tulisan-tulisan di media, jurnal ilmiah dan forum-forum intelektual. Dan tak lupa buku-bukunya seperti ETIKA DASAR: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (1987), ETIKA JAWA: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1981).
Saya membeli kedua bukunya: ETIKA POLITIK: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen (1988) dan FILSAFAT ILMU KRITIS (1992).

Sejak tahbisan 1997, saya tak lagi membeli buku-buku baru beliau. Tapi saya tetap mengikuti aktivitas intelektual dan kiprahnya. Saya mengagumi, mencintai beliau dan karya-karyanya. Dia aset berharga umat kristiani sekaligus obor bangsa Indonesia.
Saya mempunyai satu kebiasaan setiap kali membaca buku baru. Saya melacak riwayat hidup, latar belakang pendidikan, situasi sosial yang membentuk karakter kepribadian penulis.
Begitu pun ketika membaca buku-buku Romo Magnis. Beliau memiliki riwayat hidup yang panjang dan menarik. Bagi saya, membaca sejarah panjang kehidupan Romo Magnis bukanlah beban ingatan tapi penerangan jiwa.
Romo Magnis lahir tahun 1936 dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Niederschlesien. Ia menjalani masa kecil, pendidikan dasar dan menengah di sana. Kota kecil seluas 36,19 km dan berpenduduk 5.159 jiwa ini terletak di wilayah Nurnberg, Bayern Jerman.
"Singa emas yang siap menerkam“ merupakan lambang Eckersdorf. Simbolisme singa melambangkan keberanian, kekuasaan, kekuatan dan kepemimpinan. Tebersit harapan agar generasi baru Eckersdorf tampil berani, kritis, menjadi pemimpin yang kuat dan siap menghadapi tantangan.
Tahun 1952-1955 ia melanjutkan SMA di kolose Jesuit Sankt Blasien, kota kecil di tengah belantara "Schwarzwald atau hutan hitam“ Jerman Selatan. Sankt Blasien berjarak 45 kilometer dari tempat tinggal saya Eiken. Beberapa kali saya pernah ke sana.
Pertama kali bulan Maret 2015 saat mengunjungi P. Horst Werner SJ, mantan misionaris Indonesia yang pernah mengabdi selama 43 tahun di Seminari Mertoyudan. Horst pensiun di sana sambil menjadi bapak rohani bagi siswa-siswi kolese internasional itu.
Beliau rindu berbahasa Indonesia dan ceritera seputar Indonesia. Dia banyak bernostalgia tentang Mertoyudan. Saya juga menanyakan keunggulan kolese Sankt Blasien.
Mengutip P. Wladimir Graf Ledochowski SJ (1866-1942) Horst menjawab, Cura Personalis. "Cura personalis“ adalah ungkapan Latin yang berarti memperlakukan setiap orang yang kita temui (termasuk diri kita) sebagai orang yang layak mendapat perhatian, kepedulian dan rasa hormat atas keunikan pikiran, tubuh dan jiwa mereka.
Lembaga pendidikan tidak hanya menekankan intelektual. Tetapi juga kesehatan mental, fisik, spiritual dan perkembangan mereka sebagai warga masyarakat dunia. "Cura Personalis“ melatih peserta didik untuk benar-benar melihat orang lain dan membiarkan diri kita dilihat oleh orang lain.
Belakangan baru saya tahu bahwa Cura Personalis menjadi "Spruch atau semboyan“ di lembaga-lembaga pendidikan Jesuit.
Adakah imam-imam Jesuit Indonesia tamatan kolese Sankt Blasien? P. Horst menjawab: Frans Magnis Suseno. "Er ist ein intelligenter Schüler. 1955 legte Franz Magnis Suseno das Abitur am Gymnasium Sankt Blasien ab. Danach trat er in den Jesuitenorden ein. (Dia siswa yang cerdas. Tahun 1955 Franz Magnis Suseno menyelesaikan ujian akhir SMA di kolese Sankt Blasien. Sesudahnya ia masuk ordo Jesuit“).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.