Opini
Opini: Tidak Tahu Diri
Ini sebuah pengakuan, tanpa menjunjung tinggi etika dan keugaharian, niscaya seorang yang ‘bukan orang’ bisa jadi ‘orang’.
Oleh Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol
POS-KUPANG.COM - Tanggal 13 Agustus 2015, Franz Magnis Suseno atau Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Joko Widodo. Itu diberikan hanya setahun setelah jadi Presiden.
Tanpa mengingkari pemikiran hebat terutama dalam menegakkan etika tetapi bisa juga dipahami, tanpa kiprah cendekiawan, niscaya seorang calon pemimpin terbaik seperti Jokowi bisa lahir.
Ini sebuah pengakuan, tanpa menjunjung tinggi etika dan keugaharian, niscaya seorang yang ‘bukan orang’ bisa jadi ‘orang’.
Tentang hal ini Marcus Mietzner dalam Indonesia's 2014 Elections: How Jokowi Won and Democracy Survived, 2014 menekankan bahwa pencitraan politik terhadap karakteristik Jokowi seperti keterbukaan, kedekatan dengan rakyat, profesionalitas, dan postingan politik yang lembut di media sosial menjadi sangat kuat.
Tetapi semuanya itu tidak bisa terbayang di tengah sebuah proes politik penuh trik dan intrik.
Artinya, yang dipertaruhkan adalah soal nilai. Inilah nilai-nilai politik baru yang dihidupkan lalu menjalar dalam kampanye melalui IG.
Nilai ini menjadi dasar yang demikian kuat. Karena itu tidak berlebihan kalau Franz Magnis Suseno ada di bailknya. Karena itu pula layak dianugerahi bintang maha putera yang hanya berada di bawah Bintang Republik Indonesia.
Persoalannya, apakah setelah menerima Bintang Mahaputera Utama itu seharusnya Magnis Suseno lebih ‘jinak’ terhadap kekuasaan yang kerap dikritiknya?
Atau apakah komitmen pada etika justru akan menjadi bak senjata makan tuan, kalau disalahgunakan oleh Jokowi selama masa pemerintahannya?
Pada sisi lain, logikanya (apalagi dalam adat ketimuran), yang menerima hadiah harus lebih ‘tahu diri’. Sebuah teminologi yang tentu saja bersifat abu-abu. Artinya, yang menerima penghargaan harus lebih sopan, legowo, ingat (maksudnya tidak lupa) akan kebaikan orang dan sederetan sikap yang diharapkan.
Semua sikap yang diharapkan akan bermuara akhir pada adab. Adab diartikan sebagai kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Adab berkaitan dengan akhlak atau perilaku terpuji.
Inilah sikap yang diharap(-harap)kan dari mereka (termasuk Magnis Suseno) yang telah menerima penghargaan itu.
Yang jadi pertanyaan: apakah setelah menerima penghargaan 9 tahun lalu, Magnis Suseno masih seperti yang dulu atau sudah ‘tertawan’ oleh penghargaan? Tidak. Bahaya tertawan ini sudah disadari saat menerima penghargaan (Kompas 13/8/2015).
Ia berjanji tidak akan kendor dalam mengingatkan dan mengawasi. Malah kalau membiarkan itu bertentangan inti dari etika.
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Opini: Makin Merah Kerokan, Makin Parah Masuk Angin? |
![]() |
---|
Opini: Budayakan Literasi Baca Tulis dalam Keluarga |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.