Opini
Opini: Siapa yang Tidak Tahu Diri? Sebuah Tanggapan atas Tulisan Robert Bala
Ketidakjelasan itu terletak pada topiknya, “pemegang kekuasaan,” dan pada fokusnya, “tidak tahu diri”. Mengapa tidak jelas?
Romo FMS, menurut saya, tahu itu. Itu sebabnya Romo “hanya” mengatakan “jika” seperti dalam kalimat berikut ini dalam kesaksiannya, yaitu, antara lain: 1) Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan …; 2) Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil Bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye Paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari khas toko. Jadi, itu pencurian; ya pelanggaran etika …; 3) Yang jelas, kalau proses pemilu dimanipulasi, itu merupakan pelanggaran etika berat …”. Kata kalau, kita tahu, bersifat kondisional. Kalau seseorang, misalnya, mengatakan kalau Polan seorang politikus, pasti dia sehebat Jokowi. Itu apa artinya? Artinya, “kalau”: dia bisa sehebat Jokowi, tetapi bisa juga tidak. Kenyataannya? Tidak ada yang tahu.
Romo FMS, memang, kita tahu, sebagai ahli untuk Paslon 03, menyebut dalam kesaksiannya, yaitu poin pertama, bahwa pencalonan GRBR sebagai Cawapres melanggar etika berat. Dengan kata lain, menurut Romo FMS, Keputuan MK No 90/PUU-XXI/2023, sebuah pelanggaran berat dalam konteks Pemilu seperti yang disampaikan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi), seperti juga yang disinggung oleh RB dalam opini tersebut. RB menulis, “Hasil Keputusan Majelis Kehormatan MK secara tegas memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran etika berat dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 menjadi penguat bahwa teriakan Prof Magnis tidak keliru malah diberi pijakan hukum yang kuat” (Alinea ke-10 dari atas).
Saya, tentu, sangat menghargai ide Romo FMS yang didukung oleh banyak orang, termasuk RB. Namun, setelah membaca secara relatif mendetail keputusan setebal kurang lebih 122 halaman itu, saya tidak melihat kejanggalan di dalamnya. Keputusan itu mengatakan, antara lain, bahwa memang tidak boleh ada diskriminasi apa pun dalam kehidupan bernegara/berbangsa, termasuk dalam hal usia Capres dan Cawapres. Karena itu, dengan pertimbangan yang, menurut saya, sangat menyentuh hati itu, MK memutuskan, seperti yang kita tahu bersama, bahwa seseorang yang belum berumur 40 tahun, yaitu berumur 35 tahun dan pernah/sedang menjabat sebagai elected officials, boleh dicalonkan.
Apa yang salah dari keputusan itu? Tidak ada, bukan? Bahwa Anda, pembaca, tidak setuju dan menghendaki, misalnya, umur Capres dan Cawapres harus berumur 30 tahun, sejatinya, memang dalam kehidupan berdemokrasi selalu ada pro-kontra seperti itu, bukan? Sering ada pendapat yang berbeda dan sering pula ada alasan untuk berbeda, seperti halnya dalam proses penerimaan atau penolakan terhadap putusan No. 90/UUP-XXI/2023 tersebut.
Ataukah penolakan itu berkaitan dengan alasan pengajuan judicial review yang, secara eksplisit, menyebut GRBR sebagai salah satu Capres/Cawapres karena begitu berhasil dalam mempimpin Kota Solo? Ataukah karena ketua MK yang mengadili perkara itu adalah Anwar Usman (AU), adik ipar Jokowi, paman GBRR? Ada semacam vested interest? Bisa saja, boleh saja atau, bahkan, sah-sah saja asumsi seperti itu, tetapi mengapa sisi lainnya juga tidak dilirik? Mengapa kita, dalam konteks itu, misalnya, tidak berasumsi bahwa karena AU, paman GRBR, akan menjadi sangat tidak objektif terhadap keponakannya sendiri?
Secara pribadi, keputusan itu, menurut saya, tepat. Sangat tepat, bahkan. Sebab dia berhasil menghilangkan diskriminasi umur atau, dalam bahasa keptusan itu, ageism dari 40 ke 35 atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah? Apa salahnya? Itu demokratis, bukan?
Jadi, siapa yang “tidak tahu diri” dalam hal itu? Bukan Romo FMS, tentu. Bukan pula pemerintah, apalagi pemegang kekuasaan yang selama ini, jujur, bersih, dan adil. Pemegang kekuasaan yang selama ini tidak jujur, korup, dan tidak adil? Iya. Jelas. Namun tidak semua bukan? Lalu kita, mengapa menuduh semuanya sebagai “tidak tahu diri”?*
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.