Opini

Opini: Elektoralisme, Jalan Menuju Alienasi Mental Pascapemilu

Euforia demokrasi telah memetakan realitas paradoks yang menguakan titik lemah dan kemunduran demokrasi.

|
Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.com/ERICSSEN
Ilustrasi pemilu. 

Oleh: Iron Sebho
Mahasiswa Pascasarjana Teologi Kontekstual IFTK Ledalero, Maumere.

POS-KUPANG.COM - Pertarungan elektoral lima tahunan telah usai. Kemenangan disyukuri di mana-mana, sedang pihak yang kalah menunjukkan beragam reaksi.

Reaksi yang cukup akut ialah stres dan depresi yang berujung pada penutupan akses jalan, kebencian terhadap sesama yang dicurigai berkhianat, dan menagih atribut-atribut yang diberikan selama masa kampanye.

Ruang publik dihiasi oleh orang-orang yang mengalami alienasi mental pascapemilu. Catur politik yang sukar ditebak menyisakan depresi dan saling mengalienasi satu sama lain.

Orientasi pada atribut-atribut kampanye yang diyakini dapat mendulang suara, justru menjerumuskan para caleg ke dalam lubang trauma dan penyelasan.

Pada tataran ini, kita perlu memikirkan kembali makna demokrasi yang termanifestasi dalam catur politik elektoral.

Euforia demokrasi telah memetakan realitas paradoks yang menguakan titik lemah dan kemunduran demokrasi.

Praktik demokrasi disusupi dengan atribut-atribut kampanye yang lahir dari sebuah kecemasan, dan membudayanya naluri kompetitif yang didasarkan pada prasangka.

Tradisi diskursus dan moda sosial yang menjadi basis elektoral direduksi dalam atribut kampanye yang sebenarnya memetakan defisit demokrasi.

Praktik demokrasi didominasi oleh urusan elektoral yang mengorbankan nilai-nilai sosio-kultural. Demokrasi dideskripsikan sebagai elektoralisme, yaitu keterpakuan pada agenda-agenda sempit yang menghambat sistem kerja yang lain dan lebih substansial.

Terry Karl melihat fenomena ini sebagai 'kekeliruan elektoralisme'
Kekeliruan elektoralisme dalam konteks politik di Indonesia ialah terbenamnya modal sosial ke dalam popularitas yang disokong kapitalisme.

Seseorang dapat maju sebagai calon anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif apabila memiliki sokongan dana yang besar.

Demokrasi politik, ekonomi, hukum, dan kultural direduksi ke dalam lubang elektoralisme yang berkiblat pada uang dan popularitas, sehingga kehilangan jati diri.

Elektoralisme memperalat demokrasi menjadi instrumen politik, sehingga memperkuat basis oligarki, dan mengesampingkan emansipasi rakyat.

Ritualisme demokrasi yang dipertontonkan dengan maraknya atribut-atribut kampanye yang sebenarnya hanyalah sarana dalam konstelasi elektoral telah membungkam nalar kritis dan tanggung jawab politis.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved