Opini

Opini: Elektoralisme, Jalan Menuju Alienasi Mental Pascapemilu

Euforia demokrasi telah memetakan realitas paradoks yang menguakan titik lemah dan kemunduran demokrasi.

|
Editor: Dion DB Putra
KOMPAS.com/ERICSSEN
Ilustrasi pemilu. 

Anthony Giddens melihat kecanduan sebagai otonomi yang dibekukan.
Kecanduan terjadi, ketika pikiran, yang seharusnya dikendalikan oleh
otonomi, ditundukkan oleh kegelisahan (Anthony Giddens, 1999).

Kecanduan meretas jalan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada tararan ini, pertarungan elektoral tidak didasarkan pada kualifikasi moral, integritas, kapasitas, serta track record yang baik, tetapi tunduk pada uang.

Pada akhirnya citra politik diasosiasikan dengan hukum kedekatan, modal, dan identitas primordial yang bersifat apolitis. Aspirasi dan kegelisahan masyarakat kecil dibungkam oleh egoisme, uang, dan jalan sunyi menuju koalisi.

Retret Politik: Masa Depan Demokrasi

Masa depan demokrasi merupakan tanggung jawab semua warga negara. Kita perlu memikirkan kembali model politik yang ditawarkan kepada masyarakat.

Harapan akan keselamatan demokrasi perlu dibentuk melalui retret politik, yaitu menciptakan ruang sunyi politik yang tidak dicemari oleh atribut-atribut yang bersifat apolitis.

Retret politik dimulai dengan kaderisasi nalar kritis dan etika yang mumpuni dalam partai politik. Ketajaman nalar kritis diperuntukan sebagai alat melawan kekuasaan yang absolut, dan menekan rezim yang represif, serta meredam politik otoriter.

Ruang kritis perlu dipertajam di dalam lembaga politik untuk mengembangkan metode diskursus dan kepekaan sosial. Demokrasi Indonesia akan selamat apabila modal sosial menjadi imperatif dalam khazanah politik.

Partai politik perlu mengkaderisasi anggota untuk menjadi manusia yang dekat dengan rakyat, suka menolong, terlibat dalam kegiatan bersama, peduli terhadap kemanusiaan dan hak-hak masyarakat kecil.

Oleh karena itu, nalar kritis perlu dikaderisasi secara baik di semua lembaga kehidupan, terutama lembaga politik. Nalar kritis yang baik selalu terarah kepada publik, seperti yang diimpikan oleh Peter Hohendahl.

Sebagaimana halnya pada zaman pencerahan konsep kritik tidak dapat dipisahkan dari lembaga lingkup publik.

Pertimbangan-pertimbangan rasional selalu diarahkan pada publik. Komunikasi dengan masyarakat merupakan bagian integral dari sistem, sehingga menumbuhkan geliat refleksi kritis, mengundang kontradiksi, bertukar pendapat, dan aksi nyata.

Fenomena atribut-atribut kampanye dan janji-janji hanyalah alat elektoral dalam konstelasi politik. Masa depan demokrasi ada pada dedikasi untuk memperjuangkan hukum dan konstitusi, dan hak-hak rakyat menuju Indonesia yang lebih baik, harmonis, dan visioner.

Katajaman nalar perlu difungsikan dengan baik untuk menguburkan elektoralisme dan mendongkel kekuasaan yang otoriter, cuek, dan amoral.

Elektoralisme merupakan parasit dalam tubuh demokorasi. Elektoralisme menghambat peradaban demokrasi karena akan dikendalikan oleh sistem, dan menghamba pada kapitalisme.

Sejenak kita perlu merenung kembali politik elektoral. Para kader politik perlu membangun habitus baru dalam politik, yaitu penguatan modal sosial.

Modal sosial adalah investasi yang dapat menghindari seseorang dari alienasi mental pascapemilu. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved