Opini
Membaca dan Berpikir: Yang terakhir dari Toko Buku Terakhir
Kegelisahan ini dimunculkan oleh penulis karena kecintaannya pada kegiatan membaca, menulis dan berpikir.
Tokoh-tokoh dalam buku merupakan buku yang hidup, yang menjelmakan gagasan-gagasan yang diyakini dari ribuan teks dan buku yang mereka baca atau mereka tulis (Liber scriptus).
Penulis mengkomunikasikan gagasan-gagasan para pemikir yang dihadapinya, menjahitnya dalam jalinan gagasan yang saling melingkungi.
Tidak cuma itu, penulis sendiri menempatkn diri di antara para tokoh dalam buku ini sebagai sesama pencari kebenaran.
Dan, dengan cara ini, ia menunjukkan sekaligus bahwa bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan tertentu, tetapi lebih dari itu pertama-tama bahasa adalah alat berpikir yang memungkinkannya “duduk semeja”, paling kurang secara imaginer bersama para tokoh dan berpikir bersama dan bertukar pikiran dengan mereka.
Orang Latin klasik menamai berpikir dengan cogitare. Descartes memakainya dalam ungkapan yang terkenal, cogito ergo sum; saya berpikir maka saya ada.
Dengan cogito; saya berpikir, Descartes memaksudkan sebuah proses mental manusia yang semata-mata bersifat rohaniah dan imaterial. Subyek yang berpikir dan berkesadaran (res cogitans) adalah kebenaran pertama yang utama.
Sementara res atau the things, hal-hal yang tentangnya pikiran manusia mengarahkan diri (Res extensa) adalah hal-hal sekunder; bisa ada, bisa juga diabaikan.
Cara berpikir idealis Descartes mendapat penegasan optimum dalam filsafat Kant yang melalui kritik roh murni (kritik der reinen vernunft) -nya, meyakini bahwa manusia in se adalah subyek yang sanggup berpikir dari dirinya sendiri.
Pada budi setiap manusia ada kategori-kategori pengetahuan yang membuatnya sanggup bernalar atas nama dirinya sendiri.
Posisi berpikir seperti ini menjadi jejak dasar yang sedang ditapaki oleh antroposentrisme post truth yang melihat manusia konkrit yang berpikir sebagai subyek konkrit menyerupai “roh murni” yang otonom dan mampu berpikir sendiri.
Sehingga Kebenaran yang dicari manusia dalam semua giat pengetahuannya termasuk dalam membaca, tidak lain dari affirmasi atas pikirannya sendiri.
Dengan begitu kenyataan yang dicari dalam teks semata-mata ditilik dari kaca mata pikiran semata-mata. Lex entis, ordo kenyataan dalam dirinya tunduk pada lex mentis atau hukum berpikir.
Dalam teori interpretasi kemudian dikenal otonomi semantik yang membuat teks menjadi sangat terbuka, multidimensional dan polyinterpretable. Pada satu sisi kenyataan ini menunjukkan betapa kayanya makna sebuah teks.
Tapi di sisi lain, tampak pula bahwa menemukan sebuah pemahaman bersama atas sebuah teks adalah hal yang tidak mudah karena setiap orang jatuh dalam klaim kebenarannya sendiri.
Kita tidak akan berbicara lebih jauh mengenai konflik yang timbul sebagai akibat dari kerumitan teori interpretasi atau hermeneutic. Yang ingin kita tegaskan di sini adalah bahwa bahasa adalah alat berpikir melalui mana seorang penulis dan pembaca bekerja. Bahasa itu terbatas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.