Opini

Sastra dan Ikhtiar Merawat Peradaban

Hal yang tentu patut diapresiasi mengingat konsistensi kreatif dalam mencipta karakteristik sastrawi semacam ini kian langka hari-hari ini.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/EKLESIA MEI
Icad Dhada selaku Kepala Sub Bagian Kebijakan Operasional Bank NTT foto bersama Maria Matildis Banda, penulis novel Pasola di Kantor Harian Pos Kupang, Jumat 8 Desember 2023 

Ibu Mary berkisah tentang bagaimana inspirasinya menulis Novel Suara Samudera Catatan dari Lamalera. Orang Lamalera memiliki semacam konsep “good life” yang khas yakni bagaimana menciptakan harmoni dalam tenunan sejarah hidupnya.

Karenanya, mereka yang berburu Paus adalah mereka yang sungguh memiliki keintiman relasi dengan alam serentak sungguh hidup berlandaskan nilai-nilai kebaikan yang dipegang bersama.

Konsep kesepadanan semacam ini sesungguhnya mengingatkan setiap orang bahwa perjuangan untuk menafkahi hidup mesti dimulai dengan kemampuannya untuk menciptakan relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan hidupnya.

Sebagaimana kisah ibu Mary, orang Lamalera meyakini bahwa apa yang terjadi di laut saat berburu Paus ditentukan oleh sikap dan tindakan selama berada di darat.

Pada taraf faktual, keadaban budaya semacam ini boleh jadi hanya selesai sebagai sebuah seremoni dan nilai yang mengendap secara parsial.

Karena itu, budaya itu hanya dapat dimaknai secara lebih universal hanya jika didokumentasikan lewat karya seni, sastra khususnya.

Melalui sastra, budaya diangkat sebagai nilai dan cerminan untuk peradaban. Dan dengan demikian, dimensi sosialitas manusia berbudaya dan relevansi untuk peradaban dapat terejawantah. Seni sastra adalah mediumnya.

Mengapa? Hanya dengan sastra, realitas faktual dapat diangkat ke taraf lebih reflektif atau melampaui yang “sekedar biasa”, material dan pragmatis dengan cara melukiskan kisah secara kreatif-imajinatif. Dengan demikian, budaya sebagai satu entitas nilai dapat disebarkan sebagai satu produk budi pekerti antar manusia.

Namun, menangkap kekayaan lokal ini butuh kreativitas, ketekunan serentak kesabaran. Tidak semua orang memiliki cita rasa sastrawi untuk menangkap setiap kekayaan nilai dalam budaya.

Lebih-lebih di tengah hiruk pikuk dunia yang terkesan menuntut manusia untuk terus bergerak dan menjalankan banyak hal dalam satu kesempatan. Hampir pasti, semua peristiwa hidup yang bermakna justru berlalu begitu saja.

Di sini, apa yang dikisahkan Ibu Maria Matildis Banda patut menjadi contoh. Bagi saya, ia mampu bertekun untuk menangkap setiap peristiwa menjadi nilai-makna. Atau dengan kata lain, mendaur ulang setiap pengalaman yang biasa menjadi nilai yang luar biasa.

Kreativitas hanya mengalir kepada orang yang tekun dan sabar serta senantiasa mencintai “kedalaman” pikiran.

Menangkap Inspirasi

Pengalaman, selanjutnya, mesti menimbulkan ketakjuban/keheranan, kepenasaran.

Proses kreatif atas peristiwa hidup hanya dapat dimulai kalau setiap orang memiliki rasa takjub. Dan rasa itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang senantiasa bertanya; mengapa, bagaimana, dll atau mereka yang selalu setia “merawat” pertanyaan.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved