Opini

Opini Ovan Baylon: Hacker dan Kolonialisasi Digital

Di era disrupsi digital, manusia mengalami ambivalensi ketika titik tertentu bergelut di dalam jagat digital, yakni antara optimis dan pesimis.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM
Peretas data di media sosial yang diketahu bernama Bjorka. Ovan Baylon menulis opini Hacker dan Kolonialisasi Digital. 

POS-KUPANG.COM - Di era disrupsi digital, manusia mengalami ambivalensi ketika titik tertentu bergelut di dalam jagat digital, yakni antara optimis dan pesimis.

Manusia semacam terkondisi dalam suatu dikotomi. Sebab, di satu sisi, manusia dijayakan oleh beragam platform-platform digital seperti Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya sehingga ia merasa terhibur dan terbantu karena hanya dengan memerankan jarinya untuk bekerja.

Di sisi lain, manusia merasa terkolonialisaai (terjajah) oleh sesama anggotanya, yakni para pengguna platform digital lainnya, salah satunya pembajak/peretas (Hacker) sehingga menimbulkan beragam perasaan emosional, seperti marah, sedih, kecewa dan huru-hara sehingga pada akhirnya ia merasa tidak nyaman.

Sisi yang kedua menyiratkan bahwa relasi antara sesama pengguna di dalam dunia digital tengah mengalami situasi yang chaos, yakni pengguna yang satu menyerang pengguna yang lain sehingga pada titik tertentu pihak penyerang ( hacker ) merasa menang karena dilatarbelakangi pengetahuan yang mahir, sedangkan pihak yang diserang akan terkalah dan menjadi korban yang terus dieksekusi.

Dengan situasi tersebut, dunia digital seolah menyediakan ruang bagi siapa saja untuk bertingkah liberal sehingga menjadi dalih bagi pihak dominan termasuk para hacker untuk mengobjektifikasi pihak lain sebagai objek yang dijajah.

Baca juga: Mahfud MD Akui Data Negara Dibocorkan Bjorka, Pemerintah Lakukan Emergency Response

Hacker dan Kolonialisasi Digital

Sepertinya sangat optimis ketika hacker diklaim sebagai kolonialis karena pada dasarnya karakteristiknya ialah merampas, membajak dan meretas akun milik pengguna lain sehingga menciptakan ketidaknyamanan bagi korban.

Disebut penjajah karena merupakan cerminan dari tindakan para kolonialis pada umumnya yang merenggut korban tanpa mempertimbangkan sisi moralitas.

Penjajah cenderung merelativisasi tindakannya atau terlepas dari penilain moral. Selain itu, karakteristik korban penjajahan biasanya identik dengan sikap korban yang pasrah terhadap keadaan. Ciri korban seperti ini dimungkinkan terjadi pada masyarakat biasa.

Terbentuknya kata kolonialisme itu sendiri sebenarnya berangkat dari catatan historis ketika terjadi pertimpangan antara beberapa negara dunia, dimana negara dominan menguasai negara yang dianggap kurang stabil dalam menata kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk Indonesia.

Pada masa itu, karakteristik negara kolonialis identik dengan sikap jumawa yang terlalu menganggap diri sebagai tuan atas yang lain. Negara yang dijajah hanya mampu bersikap pasrah kendati tetap berupaya agar terbebas dari belenggu jajahan.

Dalam perkembangan selanjutnya, praktik kolonialisasi semacam dihidupkan kembali di abad ke-21 ini yang ditopang oleh kemajuan teknologi digital. Dunia digital seolah menghidupkan kembali praktik kolonial yang semestinya telah terhanyut dalam kenyataan sejarah.

Klaim ini terkonfirmasi ketika ruang digital sebagai produk teknologi digital tengah berada dalam situasi yang menggemparkan karena diramaikan dengan sikap para hacker yang terlalu dominan, yakni merampas secara massif atas hak akun milik orang lain.

Baca juga: Hacker Bjorka Telah Teridentifikasi, Kini Menko Polhukam Kantongi Motif dan Alasan Pelaku

Praktik kolonialisasi digital artinya proses penjajahan yang termanifestasi melalui jagat digital dan hacker diklaim sebagai salah satu aktor utamanya. Kolonialisasi digital (maya) berbeda dengan penjajahan yang terjadi dalam dunia presen (nyata).

Perbedaan ini ditinjau dari perangkat yang digunakan penjajah dan implikasinya bagi korban. Misalnya, dalam penjajahan dunia nyata, meriam (parang, senjata, pisau, dan lain-lain) dapat dilihat dan implikasinya secara langsung menggerus fisik dan psikis korban, sedangkan dalam penjajahan digital, meriam yang dipakai pelaku tak terlihat karena terpisah secara geografis (jarak-jauh) dan implikasinya cendrung merenggut psikis atau mental korban.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved