Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 3)

Semua agama yang hidup di Indonesia tidak menghendaki adanya konflik di antara penganutnya, melainkan menekankan kerukunan antara penganutnya.

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM
Wakil Gubernur NTT, Joseph Nae Soi (kedua kiri) memperlihatkan buku-buku hasil karya anggota FKUB Provinsi NTT di acara Talkshow Pancasila di Auditorium Harian Pos Kupang / POS-KUPANG.COM, Selasa (24/11/2020). 

Kaum puritan atau fundamentalis tidak mampu atau tidak rela menyesuaikan diri terhadap perubahan yang ada, lalu mengucilkan diri menjadi kelompok eksklusif. Bahaya lebih jauh adalah bahwa di dalam kelompok yang eksklusif ini selalu ada tendensi kepada intoleransi terhadap segala yang bersifat lain dari identitas mereka.

Di dalam sebuah masyarakat tradisional yang homogen dengan tatanan nilai dan pranata sosial yang diterima umum, segala yang lain dari tradisi sendiri masih dipandang sebagai sesuatu yang menarik. Sedangkan di dalam masyarakat eksklusif segala yang lain dari identitas kelompok dipandang sebagai suatu ancaman dan karena itu menjadi objek kebencian. Maka konflik antarbudaya, konflik antaragama menjadi lebih mudah terjadi justru di era modern daripada pada masyarakat tradisional.

Karena itulah maka yang perlu dibangun dalam kesadaran kaum beragama adalah sikap menerima orang lain, keberadaan agama lain dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keunikan mereka. Itulah toleransi.

Akan tetapi, untuk bersikap toleran terhadap agama lain tidak diandaikan anggapan dangkal bahwa semua agama sama saja. Bagaimana pun semua agama tidak sama. Justru karena tidak sama itulah maka semua agama harus bersikap toleran. Toleransi hanya ada artinya kalau semua agama itu tidak sama. Toleransi berarti mengakui perbedaan, menghormati seratus persen identitas masing-masing agama. Toleransi tidak menuntut agar kaum beragama merelativisasi ajaran agamanya.

Penutup

Pancasila adalah hasil kompromi politik pendiri negara RI tahun 1945, yaitu sebuah titik temu antara kaum agama yang ingin mendirikan Negara Islam dan kaum kebangsaan yang ingin mendirikan Negara Bangsa.

Akan tetapi, kita juga harus tetap bersikap realistis bahwa meski kita telah memiliki Pancasila sebagai basis bersama dalam bernegara, namun masing-masing pihak masih mempunyai harapan dan cita-cita khusus mereka sesuai dengan ajaran atau paham kelompok seperti ajaran agama.

Tetapi karena kita sudah mendasarkan negara ini pada paham negara bangsa (nasionalisme modern), bukan negara agama (religionasionalisme) seperti diperjuangkan oleh golongan Islam sejak 1945, juga bukan negara suku (etnonasionalisme) seperti diperjuangkan oleh gerakan daerahisme RMS (Republik Maluku Selatan) dan Gerakan Paupua Mereka, maka bagaimanapun cita-cita khusus masing-masing komponen masyarakat, entah itu agama atau suku, justru karena kekhususannya itu, tidak bisa menjadi dasar negara.

Akhirnya, kita semua harus mencatat dalam kesadaran kita sebagai orang beragama bahwa ada identifikasi total antara Indonesia dan Pancasila. Menyebut Indonesia berarti menyebut Pancasila dan menyebut Pancasila tidak lain berarti memaksudkan Indonesia. Itulah karakter politik yang dimiliki bangsa Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1945.

Itu artinya sama kalau kita mengatakan: Negara Indonesia adalah Negara Pancasila; atau Negara Pancasila adalah Negara Indonesia. Negara Pancasila bubar berarti Negara Indonesia bubar. Dan kata-kata ini harus menjadi kenyataan dalam hidup setiap kaum beragama di Indonesia. (selesai)

Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 1)

Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 2)

NONTON JUGA VIDEO TALKSHOW PANCASILA BERIKUT INI:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved