Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT
Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 3)
Semua agama yang hidup di Indonesia tidak menghendaki adanya konflik di antara penganutnya, melainkan menekankan kerukunan antara penganutnya.
Di dalam negara bangsa berdasarkan Pancasila itu dijamin bahwa antara cita-cita umum negara dan cita-cita khusus agama-agama tidak ada usaha untuk saling mengeksklusi. Tidak demi eksisnya cita-cita umum, cita-cita khusus setiap golongan harus dilenyapkan. Karena cita-cita umum itu baru sungguh-sungguh eksis kalau ada yang namanya cita-cita khusus dari setiap golongan. Itulah prinsip filsafat ex pluribus unum dari Pancasila.
Itu berarti, setiap kaum agama harus memahami dan menghayati kekhususan dirinya di dalam semangat bersama dari cita-cita umum. Karena itu, kalau kita mau membangun RI sebagai negara bangsa berdasarkan Pancasila, di mana semua golongan bisa krasan dan merasa seperti di rumah sendiri, maka pembangunan negara RI tidak bisa berdasarkan faham suatu golongan saja betapa pun besarnya golongan itu, melainkan berdasarkan pandangan dan cita-cita yang dimiliki semua golongan. Hal ini haruslah menjadi komitmen setiap kaum agama dalam menghayati ajaran agamanya.
Kaum agama dan antikekerasan
Apakah betul bahwa agama yang satu berkonflik dengan agama yang lain berdasarkan ajaran agama? Padahal semua agama melalui pemimpinnya mengatakan bahwa tak satu agama pun yang mengajarkan kebencian, permusuhan apalagi kekerasan dan pembunuhan. Tetapi mengapa ada pertentangan antara kelompok, sampai kepada tindakan kekerasan, yang mengatasnamakan agama mereka masing-masing?
Dalam kasus Ambon, misalnya: Kristen dan Islam sudah lama hidup berdampingan secara damai sebagai Ambon Sarani di satu pihak dan Ambon Salam di pihak lain, tiba-tiba berkonflik. Apakah betul konflik itu dipicu oleh perbedaan dalam cara mereka menyatakan kepercayaannya kepada Tuhan?
Padahal semua kaum beragama tahu dan percaya bahwa setiap agama besar menginginkan dua hal utama, yaitu keselamatan manusia penganutnya dan kemuliaan yang makin besar bagi Tuhan. Masalah kita terletak di sini, bahwa agama yang menurut hakekatnya berfungsi sebagai sarana dan jalan untuk menyelamatkan manusia dan memuliakan Tuhan kemudian berubah wujud dalam kesadaran penganutnya menjadi tujuan itu sendiri. Dengan demikian, signum berubah menjadi significatum; cara berubah menjadi tujuan.
Hal ini terbukti dalam sikap penganutnya yang membela agamanya dengan mengorbankan keselamatan orang lain. Pembunuhan dan kebencian dilarang oleh agama, tetapi justru pembunuhan dan kebencian dilakukan atas nama agama.
Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi penyimpangan itu? Jawabannya adalah bahwa kita harus merenungkan kembali secara fenomenologis pengalaman keagamaan itu dan mengembalikannya kepada kedudukannya yang asli sesuai dengan tujuan dan tuntutannya yang otentik. Untuk itu dibutuhkan examination of conscience yang lebih teliti dan jujur.
Itu berarti, fanatisme agama harus diuji: Apakah yang dibela di sana adalah keselamatan manusia dan kemuliaan Tuhan, ataukah kemegahan diri sendiri dalam mencari suatu kepuasan dan kebanggaan dengan mengatasnamakan agama?
Kaum agama dan budaya
Tantangan kita saat ini adalah munculnya gerakan puritanisasi agama. Puritanisasi agama adalah usaha untuk membersihkan kehidupan beragama dari semua unsur yang tidak berasal dari dasar asaliah agama itu.
Puritanisasi dapat berkembang dari suatu usaha yang wajar dan hakiki bagi setiap agama wahyu, yaitu bahwa umat itu senantiasa kembali ke paham-paham asalnya untuk memastikan apakah mereka masih setia kepada Sabda Allah atau tidak. Setiap agama wahyu tentu harus setia pada wahyu asal, itu jelas kita terima.
Akan tetapi, yang menjadi masalah dalam hal ini adalah bahwa usaha pemurnian agama itu membuat agama itu tercabut dari konteks sosio-kultural manusia penganutnya pada setiap zamannya. Maka walaupun kelompok agama itu setia pada wahyu Allah, namun cara menghayati iman kaum agama terlepas dari nilai-nilai budaya sezaman dan setempat yang semestinya ikut menentukan cara kaum beriman menghayati agamanya.
Kondisi saat ini, di era globalisasi ini, yang bertebaran pelbagai nilai baru, ditanggapi oleh kaum puritan dengan sikap membersihkan semua itu terhadap kehidupan beragama. Maka unsur-unsur baru dari luar, termasuk nilai-nilai budaya setempat, yang sebenarnya bernilai positif bagi manusia dipandang oleh kaum puritan sebagai ancaman terhadap kemurnian agama. Dengan itu, kaum puritan cenderung menjadi fundamentalis, berhadapan dengan nilai-nilai budaya lokal. Perjumpaan antara agama dengan budaya lokal pun menjadi sebuah perjumpaan yang konfliktual dan akhirnya menciptakan kondisi sosial-religius yang tidak harmonis.
Kaum agama dan toleransi