Human Interest Story
FEATURE: Kisah Herlina Juru Parkir Perempuan di Kota Kupang
Sebelum memakai rompi parkir, Herlina sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 700.000 per bulan.
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sebelum memakai rompi parkir, Herlina sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 700.000 per bulan. Namun biaya hidup meningkat, terlebih karena ia masih harus menyekolahkan anak bungsunya.
DI BAWAH terik matahari yang menyengat khas Kota Kupang, seorang perempuan tampak sigap mengatur kendaraan yang masuk keluar area parkir di kawasan TDM, tepatnya di depan Mixue TDM 3.
Sambil membawa setumpuk karcis, ia menyapa setiap pengunjung dengan ramah. Dialah Herlina Wati, perempuan asal Jawa yang sudah lima tahun merantau dan bertahan hidup di Kota Kupang.
Usianya sudah 50-an tahun, namun langkahnya tidak pernah terlihat ragu. Ada keteguhan yang ia rawat. Keputusan Herlina untuk pindah ke Kupang berawal dari tekad mengikuti sang suami, Samuel Sila, yang mencoba peruntungan sebagai pekerja bangunan.
Baca juga: Kapolres Malaka Beri Pesan kepada 868 PPPK yang Telah Menerima SK
Namun kehidupan tidak serta-merta menjadi lebih mudah. Pendapatan sang suami bersifat musiman dan tidak tetap.
“Kalau ada orderan bangunan, dapat delapan puluh ribu. Kalau ramai bisa seratus ribu,” ujar Herlina Wati, Kamis (23/10/2025).
Dalam sebulan, bila keberuntungan memihak, gabungan pendapatan mereka bisa mencapai Rp 1,3 juta. Namun angka itu bukan jaminan, sebab pekerjaan suaminya tidak setiap hari ada.
Mereka tinggal di sebuah kamar kos sederhana seharga Rp 400.000 per bulan di kawasan Amanuban, Kota Kupang. Di ruangan itulah mereka tidur, makan, dan menata harapan kecil yang bertahan dari satu hari ke hari berikutnya.
Sebelum memakai rompi parkir, Herlina Wati sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp700.000 per bulan.
Baca juga: LIPSUS: Anak-anak Takut ke Sekolah Pasca Kasus Guru Pukul Siswa hingga Tewas
Namun biaya hidup meningkat, terlebih karena ia masih harus menyekolahkan anak bungsunya, membuat penghasilannya tidak lagi mencukupi.
Setahun lalu, Herlina Wati akhirnya memberanikan diri menerima tawaran menjadi juru parkir. Pekerjaan yang jarang dilirik perempuan, apalagi pada usia yang tak lagi muda.
Tetapi baginya, tidak ada pekerjaan yang memalukan selama halal dan dilakukan dengan jujur.
Setiap hari, Herlina Wati bekerja 12 jam mulai pukul 11.00 Wita hingga 23.00 Wita.
Saat panas menyengat, Herlina Wati bertahan. Ketika hujan turun tiba-tiba, ia tetap berdiri sambil menggenggam karcis yang tidak pasti.
Untuk menekan pengeluaran, makanan dan minuman selalu ia bawa dari kos. Sebab, jika membeli di warung makanya uangnya akan cepat habis.
Meski bekerja dari siang hingga larut malam, pendapatan Herlina rata-rata hanya Rp40.000 per hari.
Baca juga: LIPSUS: Anak-anak Takut ke Sekolah Pasca Kasus Guru Pukul Siswa hingga Tewas
Namun jumlah itu belum benar-benar menjadi miliknya, karena ia memiliki kewajiban menyetor Rp 60.000 per hari kepada Dinas Perhubungan melalui perantara.
Dalam hari-hari sepi, sisa uang yang bisa ia bawa pulang bahkan tidak cukup untuk belanja harian.
Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, jawabannya sederhana, namun menyayat.
“Kalau saya tidak kerja bantu suami, bagaimana kehidupan kami. Karena saya perempuan, banyak yang anggap lemah. Kadang dihina, kadang dikasihani. Tapi saya kerja saja,” ujar Herlina Wati tersenyum.
Tak jarang Herlina Wati mendapat perlakuan tidak adil. Ada pengendara yang pergi tanpa membayar, padahal karcis sudah ia berikan lengkap.
“Saya terima berapa pun yang diberi. Mau marah tidak bisa,” ujar Herlina Wati.
Di balik kerja kerasnya, ada satu alasan yang membuat Herlina Wati tidak menyerah yaitu masa depan anak bungsunya, Esterlina Wati yang kini duduk di kelas 3 SMA dan memiliki cita-cita menjadi tentara wanita (TNI AD).
Baca juga: LIPSUS: Jaksa Usut Markup Tiket Pesawat di KPU TTU dan Tiga Rumah Dinas
Namun ia tahu, pendidikan dan biaya tes menjadi anggota TNI membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Dia ingin jadi tentara cewek. Tapi kami tidak punya cukup uang. Saya hanya berharap dengan ijazah SMA saja dia bisa kerja yang baik,” ungkap Herlina Wati dengan suara bergetar. Sembari menambahkan, anak pertamanya, Susanto sudah berkeluarga dan tinggal di Jawa.
Kisah Herlina Wati bukan hanya miliknya. Herlina Wati adalah potret banyak perempuan yang bekerja guna menopang ekonomi keluarga, namun jarang mendapat pengakuan.
Herlina Wati menerima pembayaran yang tidak selalu adil, tetapi ia tidak pernah menerima untuk menyerah.
Setiap karcis yang ia berikan adalah bukti perjuangannya. Setiap sen yang ia simpan adalah investasi kecil menuju harapan besar agar anaknya kelak hidup lebih baik dan tidak mewarisi kehidupan keras yang ia jalani.
“Saya tidak apa-apa susah sekarang. Yang penting anak saya nanti tidak susah lagi," ungkap Herlina Wati. (iar)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
| FEATURE: Ombudsman NTT Bangun Diskusi dengan Dinas Pertanian Kota Kupang |
|
|---|
| FEATURE: Le Bajo Flores Labuan Bajo Ciptakan Kesan dan Cerita Spesial |
|
|---|
| FEATURE: Alumni Politeknik Pertanian Negeri Kupang Galau dengan Harga Ayam |
|
|---|
| FEATURE: Festival Golo Curu 2025 di Manggarai, Lintas Agama Bersatu dalam Ritus Tuk Kopi |
|
|---|
| FEATURE: Pasar Murah Golkar NTT, 1.000 Paket Sembako Ludes Diserbu Rakyat |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.