Guru Aniaya Siswa Hingga Tewas

Anak-anak Takut ke Sekolah  Setelah Guru Pukul Siswa hingga Tewas

Rafi To, murid SD Inpres One yang meninggal dunia diduga akibat penganiayaan oleh guru penjaskes, Yafet Nokas. 

|
Pos Kupang/ant
Kekerasan terhadap anak, kekerasan anak, kdrt, korban kekerasan, anak ditampar (ANTARA News / Insan Faizin Mubarak) 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Maria Vianey Gokok

POS-KUPANG.COM, SOE - Duka mendalam dan rasa takut kini menghantui warga Desa Poli, Kecamatan Santian, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), pasca kasus tragis yang menimpa Rafi To, murid SD Inpres One yang meninggal dunia diduga akibat penganiayaan oleh guru penjaskes, Yafet Nokas. 

Tidak hanya keluarga korban yang berduka, sejumlah orang tua siswa lainnya kini turut merasakan trauma mendalam. Satu di antaranya adalah Yusmina Toh (42), tetangga korban sekaligus ibu dari salah satu murid yang juga menjadi korban pemukulan oleh guru yang sama. 

Saat diwawancarai Pos Kupang, Rabu (15/10), Yusmina dengan nada sedih mengungkapkan bahwa peristiwa itu meninggalkan ketakutan besar bagi anak-anak di lingkungan mereka.

“Sejak kejadian itu, anak-anak kami tidak mau lagi ke sekolah. Kami paksa pun mereka tidak mau. Mereka selalu bilang, mama terlalu paksa kami, tapi mama tidak tahu apa yang kami alami di sekolah,” ungkap Yusmina mengulangi lagi pernyataan anaknya.

Baca juga: LPA NTT Sikapi Kasus Kepala Sekolah Tampar Siswa Merokok di Lebak Banten

Menurut Yusmina, peristiwa pemukulan yang dilakukan guru penjaskes itu tidak hanya menimpa Rafi To, tetapi juga sembilan murid lainnya, termasuk anaknya. Ia menceritakan bahwa kekerasan di sekolah itu sudah sering terjadi dan anak-anak kerap menunjukkan bekas luka kepada orangtua mereka.

“Mereka sering datang cerita, bahkan kasih tunjuk tanda-tanda bekas pukulan di betis. Ada bekas kena kayu, ada yang benjol di kepala. Tapi kami sebagai orangtua biasanya cuma diam saja, karena kejadian itu di jam sekolah. Kami takut kalau lapor nanti malah kami yang dapat masalah,” jelasnya.

Namun kejadian pada Jumat, 26 September 2025 itu menjadi puncak dari ketakutan anak-anak. Saat pulang sekolah, anak Yusmina tiba di rumah dalam keadaan menangis keras.

“Dia pulang sambil menangis. Dia bilang Mama kami kena pukul, sambil tunjuk kepala. Waktu saya lihat, memang ada benjolan. Saya langsung suruh dia tukar pakaian, lalu saya kasih obat amoksilin dan kompres dengan air panas dari termos,” cerita Yusmina.

Ia menambahkan, sang suami yang sedang merantau di Makassar juga mengetahui peristiwa tersebut. 

“Saya sempat telepon bapaknya, tapi bapaknya bilang tidak usah buat apa-apa karena takut nanti saya dapat masalah. Tapi saya bilang, ini anak kecil, kenapa dipukul pakai batu, sampai benjol begitu, kasihan sekali,” katanya lirih.

Sejak kejadian itu, hampir semua anak di sekitar lingkungan tempat tinggal Rafi enggan kembali ke sekolah. Trauma dan ketakutan begitu kuat melekat di benak anak-anak.

“Sekarang bukan cuma sepuluh anak korban itu yang tidak mau ke sekolah, tapi hampir semua anak di ingkungan kami juga sudah takut. Mereka lihat sendiri Rafi sampai meninggal, jadi mereka takut. Kami sebagai orang tua bingung harus bagaimana,” tutur Yusmina.

Ia berharap agar pemerintah daerah dan pihak sekolah segera turun tangan menangani kondisi anak-anak serta memastikan proses hukum terhadap pelaku berjalan adil.

Baca juga: Ketua LPA NTT dan Pendamping Korban Anak Ungkap Kondisi Ketiga Korban 

“Saya hanya minta supaya pemerintah perhatikan kami di sini. Anak-anak butuh pendidikan, tapi mereka juga butuh rasa aman. Kami orang tua tidak tahu lagi harus bagaimana. Kalau keadaan begini terus, masa depan anak-anak kami bisa hilang,” ujarnya dengan penuh harap.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved