Liputan Khusus
LIPSUS: SILPA Tembus Rp 2 Triliun, Kanwil DJPb Siap Kawal
Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) mengungkapkan akumulasi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA)
Penulis: Irfan Hoi | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Dari perspektif administrasi keuangan, fenomena ini harus dipahami secara kritis. Secara ekonomi dan administrasi, SILPA muncul karena beberapa faktor. Salah satunya perencanaan yang tidak realistis.
Perencanaan anggaran yang tidak realistis. Banyak belanja daerah disusun tanpa sinkronisasi yang baik antara RPJMD, Renstra OPD, dan rencana pengadaan riil di lapangan.
Faktor lainnya disebabkan lambatnya proses pelaksanaan. Proyek fisik dan program pelayanan publik sering tersendat karena mekanisme birokrasi, keterlambatan tender, hingga lemahnya kapasitas teknis OPD.
Baca juga: LIPSUS: 3,5 Jam Melki-Emi Bersama Massa Aksi Damai Cipayung Plus di DPRD NTT
Sisi lain, ada ketidakpastian regulasi pusat-daerah. Misalnya penyesuaian dana transfer, perubahan aturan pengadaan, dan keterlambatan juknis membuat daerah menahan eksekusi.
Ada juga faktor kapasitas SDM dan tata kelola. Juga tidak meratanya kompetensi pejabat pengelola anggaran menyebabkan eksekusi anggaran tidak agresif.
Untuk itu, saya menyarankan Pemerintah Daerah (Pemda) di NTT agar memperbaiki perencanaan. Anggaran harus berbasis kebutuhan nyata, data valid, dan lebih konservatif dalam asumsi.
Percepat eksekusi. Proses pengadaan barang/jasa harus dimulai awal tahun, bukan menumpuk di akhir tahun.
Kemudian, penguatan SDM. Pemda perlu melakukan peningkatan kapasitas untuk bendahara, PPK, dan pejabat perencana melalui pelatihan berkelanjutan. Monitoring real time. Pemanfaatan teknologi informasi untuk memantau serapan anggaran setiap bulan perlu menjadi budaya.

Sebaliknya, jika SILPA tidak ditekan dan berulang akan memberi risiko serius.
Pertama, menunjukkan inefisiensi fiskal atau daerah memiliki dana tapi tidak memberi manfaat langsung ke masyarakat.
Kedua, mengurangi kepercayaan publik terhadap kinerja Pemda. Ketiga, dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lokal karena belanja pemerintah adalah salah satu motor penggerak ekonomi NTT.
Baca juga: LIPSUS: Tunjangan Perumahan DPRD NTT Fantastis Rp 283,2 Juta Per Tahun
Pemerintah daerah tidak boleh menjadikan SILPA sebagai “prestasi” karena itu justru cermin kelemahan eksekusi.
Saya mendorong Kepala daerah bersama DPRD agar menegaskan bahwa keberhasilan bukan sekadar penyerapan anggaran tinggi di akhir tahun, tapi kecepatan dan kualitas belanja sejak awal tahun berjalan.
Prinsip value for money—ekonomis, efisien, dan efektif—harus benar-benar diterapkan.
Bagi saya, dengan langkah korektif tersebut, SILPA bisa ditekan, dan APBD dapat benar-benar menjadi instrumen pembangunan, bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
LIPSUS: Eks Kapolres Ngada Dituntut 20 Tahun, Fajar Tidak Menyesali Perbuatannya |
![]() |
---|
LIPSUS : Universitas Terbuka UT Siapkan 15 Prodi Baru Berbasis STEM |
![]() |
---|
LIPSUS: Ketua DPRD NTT Emi Nomleni Tuding Wartawan Provokasi, Tunjangan DPRD yang Fantastis |
![]() |
---|
LIPSUS: 3,5 Jam Melki-Emi Bersama Massa Aksi Damai Cipayung Plus di DPRD NTT |
![]() |
---|
LIPSUS: Tunjangan Perumahan DPRD NTT Fantastis Rp 283,2 Juta Per Tahun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.