Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani

Dr. Mikhael Feka: Anak yang Terlibat dalam Praktek Prostitusi adalah Korban

Anak yang terlibat dalam praktek Prostitusi adalah korban, apakah anak itu yang melacurkan dirinya sendiri ataupun anak yang dilacurkan

POS KUPANG/HO
MIKAHEL FEKA - Akademisi dari Unwira Kupang, Dr. Mikhael Feka, SH, MH 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, OMDSMY Novemy Leo 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Akademisi dari Unwira Kupang, Dr. Mikhael Feka, SH, MH menegaskan, anak yang terlibat dalam praktek Prostitusi adalah korban. Karena itu, anak yang melacurkan dirinya sendiri ataupun anak yang dilacurkan oleh orang lain, mereka disebut korban meski dalam praktek mereka nampak sebagai 'pelaku'.

Mikhael Feka dimintai tanggapannya atas pernyataan Deddy Manafe, SH, M.HUm, saksi ahli yang dihadirkan terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman dalam persidangan di PN Kupang, Senin (15/9/2025) siang.

Kenapa bisa demikan? MIkhael Feka mengatakan, hal itu merujuk pada UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002), Pasal 15 dan Pasal 59, menyatakan bahwa anak yang menjadi korban eksploitasi seksual adalah korban yang harus mendapatkan perlindungan khusus.

Pasal 76I menyebutkan, "Setiap orang dilarang mengeksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual anak."
Definisi "eksploitasi seksual" termasuk kondisi ketika anak dijadikan objek dalam kegiatan seksual dengan imbalan uang atau barang, meskipun tampak secara sukarela.

"Jadi, hukum kita sudah mengatur bahwa anak dalam situasi seperti ini tetap dilihat sebagai korban, bukan pelaku," tegas Mikhael Feka.

Menurut Mikhael Feka, hukum Indonesia sudah mengatur namun, implementasinya masih lemah. Maka, pemerintah mesti melakukan beberapa hal.

Mikhael Feka 9
MIKHAEL FEKA - Akademisi dari Unwira Kupang, Dr. Mikhael Feka, SH, MH

Pertama, penguatan implementasi hukum melalui pelatihan aparat penegak hukum agar paham perspektif korban. Revisi hdan armonisasi UU agar tidak terjadi tumpang tindih atau celah hukum.

"Pembangunan sistem rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi anak korban eksploitasi seksual. Dan Penekanan pada pendekatan berbasis korban (victim-based approach), bukan berbasis pelaku," kata Mikhael Feka.

Lebih lanjut Mikhael Feka mengatakan, eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk telribat dalam prostitusi anak, mesti tetap dihukum.  "Tindakannya tetap dihukum," kata Mikhael Feka.

Menurut Mikhael Feka, ada beberapa dasar hukum yang bisa digunakan untuk menjerat Fajar Lukman.

Pertama,  Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak yakni Melakukan hubungan seksual atau perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur tetap dipidana.

Baca juga: Saksi Ahli Deddy Manafe Sebut UU Tidak Atur Anak yang Melacurkan Diri itu adalah Korban

Kedua, UU TPKS No. 12 Tahun 2022 yang memuat pasal terkait eksploitasi seksual dan perdagangan orang.

"Jadi, meskipun ada perdebatan di ranah tafsir hukum, tidak ada celah hukum yang membebaskan pelaku dewasa dari pertanggungjawaban jika berhubungan seksual dengan anak, walaupun melalui aplikasi seperti MiChat," tegas Mikhael Feka.

Ditanyakan dari sehi UU Hak Asasi Manusia (HAM), apakah anak-anak yang melacurkan dirinya tidak bisa dilindungi secara hukum, Mihkaes Feka menegaskan, anak-anak dimaksud tetap dilindungi secara hukum.

TERSANGKA - Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan anak, Kamis (13/3/2025).
TERSANGKA - Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan anak, Kamis (13/3/2025). (TANGKAPAN LAYAR KOMPAS TV)

Hal ini didasarkan atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 52 ayat (2) bahwa  Anak berhak atas perlindungan dari kekerasan seksual dan eksploitasi.

Serta Konvensi Internasional Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi Indonesia lewat Keppres No. 36 Tahun 1990.

"Jadi, dari perspektif HAM, anak dalam situasi seperti ini tetap korban dan negara wajib melindunginya," jelas Mihkaes Feka.

Baca juga: Terdakwa Fani Tegaskan Keterangan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Lukman Penuh Kebohongan

Mkhael Feka mengatakan, anak-anak yang melacurkan dirinya mesti dianggap sebagai belum cakap hukum.

"Dalam hukum Indonesia, anak belum cakap hukum penuh, apalagi dalam konteks seksual. Anak tidak bisa memberi persetujuan hukum yang sah untuk hubungan seksual. Konsep suka sama suka tidak berlaku bila yang terlibat adalah anak-anak," jelas Mikhael Feka.

Karena itu, perbuatan eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman yang menyetubuhi anak melalui michat, mesti ada pembayaran dan dinilai suka-sama suka, bagi Mikhael Feka, perbuatan Fajar Lukman tetap tidak bisa dibenarkan.

KAWAL TERSANGKA - Tersangka Fani dikawal ketat oleh petugas saat digiring ke mobil tahanan untuk dibawa ke Lapas Perempuan Kupang, Kamis (12/6/2025).
KAWAL TERSANGKA - Tersangka Fani dikawal ketat oleh petugas saat digiring ke mobil tahanan untuk dibawa ke Lapas Perempuan Kupang, Kamis (12/6/2025). (POS-KUPANG.COM/RAY REBON)

"Tidak bisa dibenarkan sama sekali. Hukum Indonesia tidak mengenal pembenaran untuk hubungan seksual dengan anak, walaupun diklaim suka sama suka," tegas Mikhael Feka.

Dijelaskan Mikhael Feka, Pasal 81 ayat (2) UU Perlindungan Anak menyebutkan, Bahkan jika anak memberikan persetujuan, itu tetap dipidana. "Kapasitas hukum anak belum cukup untuk memahami konsekuensi tindakan seksual. Jadi, sikap Fajar Lukman sangat bertentangan dengan hukum dan etika, lebih-lebih karena dia pejabat publik," kata Mikhael Feka.

Baca juga: Akhmad Bumi : Yang Diproduksi dan Dikonsumsi Bukanlah Manusia Melainkan Jasa

Ditanyakan apakah anak yang melacurkan diri itu pantasnya anak itu disebut apa, Mikhael Feka mengatakan, anak itu  tetap harus disebut sebagai korban.

"Sakali lagi, anak tetap disebut korban. Tidak ada istilah lain yang layak selain "korban eksploitasi seksual anak". Penggunaan istilah seperti "pelacur cilik" atau "anak yang menjual diri" adalah tidak etis dan menyalahkan korban (victim-blaming)," kata Mikhael Feka.

Menurut Mikhael Feka UU sudah mengatur tentang perlindungan anak. "Tapi jika pun ada celah, prinsip non-derogable rights atau hak yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun dan perlindungan terhadap anak tetap berlaku," tegas Mikhael Feka.

Menanggapi bahwa melihat pasal terkait UU ITE yang dakwakan kepada Fajar Lukman dan pernyataan Dedy Manafe bahwa Fajar Lukman harus diadili di Australia karena video itu beredar di Australia dan ditemukan di Australia, Mikhael Feka tidak setuju. 

Baca juga: Ketua LPA NTT Tory Ata : Pernyataan Akhmad Bumi Menyesatkan, Tidak Paham Regulasi

"Tidak setuju. Jika tindak pidana terjadi di wilayah hukum Indonesia, maka yurisdiksi Indonesia berlaku.
Kecuali jika ada bukti kuat bahwa konten video disebarluaskan dari Australia dan menyebabkan kerugian hukum disana, barulah ada kemungkinan pelaku bisa diadili di Australia dalam konteks UU ITE mereka," jelas Mikhael Feka.

Pihak Australia , kata Mikhael Feka, bisa dimintai bantuan hukum. "Yang paling logis dan adil, diperiksa dan diadili di Indonesia sesuai hukum nasional. Australia bisa dimintai bantuan hukum melalui kerja sama ekstradisi atau mutual legal assistance (MLA)," jelas Mikhael Feka.

Lebih lanjut dijelaskan Mikhael Feka, berdasarkan prinsip lex loci delicti commissi atau tempat kejadian perkara, maka sidang memang seharusnya dilakukan di Kupang.

FAJAR LUKMAN - Majelis Hakim menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh Eks Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
FAJAR LUKMAN - Majelis Hakim menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh Eks Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. (POS-KUPANG.COM/MARIA SELFIANI BAKI WUKAK )

"Karena kejahatan seksual dilakukan di Kupang. Jika kasus berkembang menjadi lintas negara (terkait penyebaran video), dapat dilakukan penyelidikan tambahan oleh pihak imigrasi, kepolisian siber, atau bahkan interpol," kata Mikhael Feka.

Mikhael Feka menambahkan, dalam hukum pidana dikenal dua macam delik yakni delik biasa dan delik aduan. 

Delik biasa bisa dilaporkan oleh siapa saja yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana bahkan tanpa laporan masyarakat pun ketika polisi tahu ada maka dugaan pidana tersebut sudah bisa ditangani. 

Baca juga: LIPSUS: Tensi Darah AKBP Fajar Tinggi Eks Kapolres Ngada Pakai Rompi Orange 26 Ditahan di Rutan

Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya bisa ditangani apabila ada aduan dari Korban. 

Dan kasus eks kapolres Ngada Fajar Lukman itu bukan delik aduan, namun delik biasa. Karena itu, ada laporan atau pengaduan dari korban atau tidak, tetap kasus tersebut mesti diproses hukum dan aparat penegak hukum (APH) mesti melakukan proses hukum terhadap pelaku Fajar Lukman.

"Maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah tindak pidana dalam UU Perlindungan Anak termasuk delik biasa atau delik aduan? Semua delik dalam UU Perlindungan Anak adalah delik biasa sehingga tidak perlu adanya aduan atau laporan masyarakat," kata Mikhael Feka.

Mikhael berharap agar semua pihak dan majelis hakim bisa melihat dengan baik dan benar terhadap kasus eks kapolres ngada ini. (vel)  

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved