Opini
Opini: Memuliakan Guru
Sedangkan memuliakan guru bersifat horizontal (hubungan antar manusia) dan lebih berfokus pada etika sosial serta pendidikan.
Itulah sebabnya profesi guru saat itu sangat dihormati dan dilindungi masyarakat.
Di Manggarai-Flores-NTT disamping “Tuang Pastor” hanya ada “Tuang Guru”. Maka ada sapaan misalnya, “Tuang Guru Frans”.
Jadi, pribadi melebur dengan profesinya. Itu sebenarnya cara sederhana masyarakat untuk melindungi profesi guru. Guru menjadi identitas kolektif.
Pelanggaran yang dilakukan guru secara individu, bisa mencoreng wajah profesi guru secara keseluruhan.
Namun sayang seribu kali sayang, kini nilai berharga itu sudah menjadi barang langka bahkan tinggal kenangan di tengah gelombang perubahan zaman.
Kemajuan teknologi di bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi dan akses internet yang luas mengubah konstelasi posisi dan peran guru.
Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, pengetahuan dan nilai-nilai, karena sudah ada radio, televisi dan gadget atau gawai.
Di Jawa pemeo yang berbunyi “guru wajibe digugu lan ditiru” ( guru wajib diteladani dan ditiru ) bergeser menjadi “guru oleh digugu tapi ojo ditiru” ( guru boleh dipercaya tapi jangan diteladani ).
Ini merupakan isyarat bahwa kadar kepercayaan masyarakat terhadap guru mulai menurun.
Guru bukan lagi sosok yang patut “digugu dan ditiru” karena ada patron nilai yang ditawarkan iklan televisi dan media sosial yang memiliki daya pikat kuat meskipun kebenaran dan nilainya patut dipertanyakan.
Menghadapi semua itu maka yang dituntut dari guru adalah menyesuaikan diri dengan perubahan dengan pola pikir bertumbuh (growth mindset).
Di ruang kelas guru bukan saja befungsi sebagai laerning agent (agen pembelajaran) tapi juga agent of change (agen perubahan).
Jika ini tidak dilakukan maka di tengah perubahan yang serba marathon dan tanpa tanding seperti saat ini dan ke depan posisi guru semakin gamang dan tak percaya diri baik karena tekanan pekerjaan maupun polah tingkah masyarakat konsumerisme yang sinis.
Alasan-alasan ini saling terkait dan mencerminkan tantangan sistemik di Indonesia.
Untuk mengatasinya, diperlukan reformasi seperti peningkatan gaji dan kampanye kesadaran masyarakat, agar guru kembali mendapatkan penghargaan yang layak.
Reformasi Sistemik
Iklim sosial politik Indonesia saat ini sesungguhnya sangat pro dunia pendidikan dan guru.
Keyakinan dan kesadaran bahwa untuk membangun bangsa besar sebesar bangsa Indonesia ini dibutuhkan pendidikan yang bermutu, bukan hanya menjadi keyakinan dan kesadaran para guru saja, tetapi juga sudah menjadi keyakinan dan kesadaran kolektif bangsa mulai dari presiden sampai rakyat jelatanya.
Buah kesadaran seperti itu tercermin pada misalnya alokasi 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan, lahirnya UU Guru dan Dosen, adanya Tunjangan Profesi Guru dan berbagai regulasi dan kebijakan negara yang mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Hal terakhir yang paling mengejutkan publik adalah pernyataan dan kritik keras yang dilontarkan oleh Dr. Benediktus Kabur Harman dalam Raker teknis antara Mendikdasmen dan Menag dengan Komisi III DPR RI tanggal 19 November 2025 dengan agenda Peninjauan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Harman dan Komisi III DPR RI mengajukan sedikitnya 5 (lima) pernyataan dan/atau tuntutan yakni 1. Profesi pendidik harus dihargai setara Dokter, tidak ada alasan lagi.
2. Revisi UU tidak boleh berhenti pada penggantian pasal, harus mengubah nasib pendidik.
3. Ketidakpastian status pendidik adalah kegagalan Negara. 4. Kualitas pendidikan nasional mustahil naik tanpa memuliakan pendidik.
5. Peningkatan tunjangan profesi adalah langkah paling dasar yang harus dilakukan segera.
Jika dicermati secara mendalam apa yang disampaikan oleh Harman dkk di Komisi III DPR RI itu searah dengan Reformasi Sistemik yang direkomendasikan OECD dan UNESCO.
OECD melalui TALIS (Teaching and Learning International Survey) tahun 2024 yang dirilis tahun 2025 yang melibatkan 55 sistem pendidikan dan 280.000 guru menunjukkan iklim sekolah membaik (96 persen guru puas), tapi retensi rendah karena gaji tidak kompetitif (61 persen tidak puas).
UNESCO, melalui ILO-UNESCO Recommendation 1966 (diperbarui 2024) dan High-Level Panel 2024, berfokus pada transformasi profesi guru menjadi "tenaga kerja terhormat, didukung, dan berkualifikasi tinggi".
Santiago Consensus tahun 2025 memperkuat komitmen global untuk penguatan profesi guru dengan : Menjamin kondisi kerja yang layak, termasuk keamanan kerja, gaji kompetitif, beban kerja realistis, lingkungan kerja aman, dan penghormatan terhadap kesejahteraan, status, serta martabat, sambil mempromosikan kepemimpinan guru, otonomi pedagogis, dan kolaborasi antar sesama untuk retensi.
Inilah yang diperjuangakan oleh lembaga-lembaga kredibel baik nasional pun internasional demi perbaikan profesi guru.
Lantas, bagaimana guru membenah diri untuk mendukung perjuangan mereka? Jawab sendiri dan Selamat Hari Guru Nasional 25 November 2025. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Fransiskus-Borgias-Hormat.jpg)