Opini

Opini: Memuliakan Guru

Sedangkan memuliakan guru bersifat horizontal (hubungan antar manusia) dan lebih berfokus pada etika sosial serta pendidikan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FRANSISKUS B HORMAT
Fransiskus Borgias Hormat 

Catatan Untuk Hari Guru Nasional, 25 November 2025

Oleh: Fransiskus Borgias Hormat
Pengawas Dikmen Pada Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi NTT. Tinggal di Karot Ruteng.
 
POS-KUPANG.COM - Tatkala membaca judul tulisan ini secara spontan kita mungkin terasosiasi dengan ritus memuliakan Tuhan. 

Bukan penulis menentang semboyan teguh “Soli Deo Gloria” bahwa hanya Tuhanlah yang dimuliakan. 

Makanya, untuk menghindari salah persepsi kita lihat dulu perbedaan keduanya. 

Memuliakan Tuhan dan memuliakan guru adalah dua tindakan penghormatan yang berbeda dalam esensi, objek, dan konteksnya, meskipun keduanya melibatkan sikap hormat dan pengabdian.  

Memuliakan Tuhan adalah tindakan spiritual dan religius yang bersifat vertikal. 

Baca juga: Opini: Melacak Jejak Hans Monteiro

Dalam banyak agama memuliakan Tuhan melibatkan ibadah, doa, pengorbanan, dan hidup sesuai ajaran ilahi untuk menyatakan kemuliaan-Nya. 

Tujuannya adalah mencapai kedekatan spiritual, pengampunan, atau surga, dan sering dianggap sebagai kewajiban utama manusia. 

Sedangkan memuliakan guru bersifat horizontal (hubungan antar manusia) dan lebih berfokus pada etika sosial serta pendidikan. 

Tujuannya adalah membangun masyarakat beradab dan berpengetahuan dengan memberlakukan persamaan hak dan keadilan dalam status profesi, insentif finansial dan berbagai tindakan lainnya demi promosi harkat dan martabat guru. 

Hal-hal ini sering dilihat sebagai bentuk penghormatan manusiawi, bukan penyembahan terhadap guru. 

Jadi perbedaan utamanya terletak pada objeknya yakni Tuhan sebagai entitas ilahi yang transenden, sementara guru sebagai manusia yang bisa salah.

Mengapa guru harus dimuliakan?

Jika pada saat ini kita masih sering menyaksikan peristiwa dan kondisi yang mencerminkan  minimnya tindakan memuliakan guru, mungkin karena masyarakat kita sudah terlanjur termakan oleh isu dan mitos yang mendegradasi nilai-nilai luhur profesi keguruan. 

Karenanya seluruh pemangku kepentingan pendidikan baik pemerintah, masyarkat, yayasan pendidikan, orangtua, warga sekolah dan guru itu sendiri perlu diingatkan kembali tentang alasan-alasan yang esensial mengapa profesi guru harus dimuliakan.   

Pertama, dalam perspektif pendidikan, guru adalah kunci pembentukan peradaban dan masa depan. 

Guru adalah elemen sentral dalam proses belajar-mengajar, yang menentukan keberhasilan murid dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi nilai-nilai yang membentuk karakter dan kepribadian luhur murid. 

Tanpa penghormatan yang layak, motivasi guru bisa menurun, sehingga kualitas pendidikan terganggu. Dari zaman ke zaman telah terbukti bahwa peran guru tak tergantikan termasuk di era digital saat ini. 

Jika guru tidak dimuliakan, misalnya melalui dukungan sarana dan insentif finansial yang layak serta persepsi sosial yang positif serta suportif terhadap profesi guru, maka target Indonesia Emas 2045 dalam bidang pendidikan bisa terhambat.

Kedua, dari sudut budaya, guru dianggap sebagai sosok yang patut ditiru dan menjadi panutan masyarakat. 

Mereka berperan sebagai pengganti orang tua di sekolah, membimbing murid tidak hanya secara akademis, tapi juga sosial dan emosional. 

Memuliakan guru memperkuat harmoni sosial dan mencegah degradasi nilai-nilai luhur.

Ketiga, dari perspektif psikologis, memuliakan guru membantu menjaga kesehatan mental mereka, karena profesi ini penuh tantangan seperti beban kerja tinggi dan tekanan dari siswa/orang tua. 

Penghormatan memberikan rasa dihargai, yang meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja. 

Di Indonesia, survei menunjukkan tingginya tingkat burnout di kalangan guru, terutama pasca-pandemi, dengan kasus depresi meningkat di daerah urban seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar. 

Program seperti sertifikasi guru dan tunjangan profesi adalah bentuk pemuliaan, tapi masih perlu ditingkatkan untuk mencegah eksodus guru ke profesi lain, yang bisa merugikan generasi muda. 

Dengan memuliakan guru melalui kebijakan, apresiasi sosial, dan dukungan nyata, kita tidak hanya menghargai jasa mereka tapi juga memastikan masa depan Indonesia yang lebih cerah. 

Ini adalah investasi yang tak ternilai, mengingat guru adalah arsitek peradaban.

Potret Buram

Secara sosial guru adalah salah satu profesi yang rentan terhadap perundungan dan praktik-praktik ketidakadilan di tengah masyarakat di belahan dunia manapun. 

Realitas di Indonesia menunjukkan bahwa penghargaan terhadap profesi ini masih rendah. 

Ada alasan faktual dan masuk akal mengapa masyarakat cenderung kurang memuliakan guru berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. 

Pertama, di tengah persepsi masyarakat yang memandang pekerjaan dan penghasilan sebagai simbol status yang diperparah oleh gaya hidup konsumerisme, satu alasan utama mengapa guru tidak dimuliakan adalah karena gaji guru yang rendah, terutama bagi guru honorer, yang membuat masyarakat memandang profesi ini sebagai pilihan terakhir atau kurang prestisius. 

Dibandingkan dengan profesi lain yang memerlukan pendidikan setara, seperti dokter, gaji guru sering kali tidak sepadan dengan beban kerja mereka. 

Bayangkan saja gaji guru honorer atau guru yayasan yang hanya menerima upah Rp 300 ribu hingga Rp1 juta per bulan sementara biaya hidup terus meningkat. 

Itulah sebabnya banyak guru mencari pekerjaan sampingan dan akhirnya membentuk persepsi masyarakat bahwa guru adalah profesi mulia yang tidak layak dihormati sepenuhnya.

Kedua, masyarakat sering membentuk stereotype bahwa guru adalah profesi sepele alias gampangan, sehingga kurang dihargai. 

Akibatnya minat calon mahasiswa bertalenta termasuk Generasi Z untuk program keguruan semakin menurun. 

Hal ini diperkuat oleh media sosial yang sering mem-blow up  cerita guru yang kesulitan, sehingga masyarakat lebih memilih profesi yang dianggap status sosialnya lebih tinggi seperti pengusaha, dokter, pengacara atau influencer yang memiliki gaji dan pendapatan yang tinggi pula. 

Padahal menurut laporan OECD dalam buku Teaching as a Knowledge Profession (2021), guru memiliki basis pengetahuan pedagogis umum yang independen dari mata pelajaran, seperti pemahaman tentang pembelajaran dan pengajaran. 

Ini membuat profesi guru serupa dengan kedokteran atau hukum, tapi unik karena pengetahuannya terus diperbarui melalui praktik dan riset, dengan fokus pada adaptasi terhadap keberagaman siswa. 

Ketiga, banyak orang tua dan masyarakat tidak memahami betapa kompleksnya pekerjaan guru, seperti administrasi yang rumit, tekanan emosional dari siswa, dan tuntutan pedagogis. 

Mereka melihat guru hanya sebagai pengajar di kelas, tanpa menyadari peran mereka sebagai pendidik holistik. 

Di Indonesia, hal ini tercermin pada kasus-kasus kekerasan atau keluhan orang tua terhadap guru, seperti pemukulan atau tuntutan hukum atas disiplin siswa. 

Selama pandemi covid-19, guru harus beradaptasi dengan pembelajaran daring tanpa dukungan memadai, tapi apresiasi dari masyarakat sering kali minim, membuat mereka merasa tidak dihargai.

Keempat, dulu guru dianggap sebagai figur otoritas seperti "perpanjangan tangan Tuhan" karena posisi dan peran multitasking-nya. Tidak hanya di sekolah, tapi merambah hampir seluruh segi kehidupan masyarakat. 

Pada zaman kolonial Hindia Belanda hanya orang cerdas dan berbakatlah yang bisa menjadi guru bagi sesama pribumi lain, bahkan itu sudah menjadi pakem paska kemerdekaan sampai tahun sembilan belas enampuhan. 

Itulah sebabnya profesi guru saat itu sangat dihormati dan dilindungi masyarakat. 

Di Manggarai-Flores-NTT disamping “Tuang Pastor” hanya ada “Tuang Guru”. Maka ada sapaan misalnya, “Tuang Guru Frans”. 

Jadi, pribadi melebur dengan profesinya. Itu sebenarnya cara sederhana masyarakat untuk melindungi profesi guru. Guru menjadi identitas kolektif. 

Pelanggaran yang dilakukan guru secara individu, bisa mencoreng wajah profesi guru secara keseluruhan. 

Namun sayang seribu kali sayang, kini nilai berharga itu sudah menjadi barang langka bahkan tinggal kenangan di tengah gelombang perubahan zaman. 

Kemajuan teknologi di bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi dan akses internet yang luas mengubah konstelasi posisi dan peran guru. 

Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, pengetahuan dan nilai-nilai, karena sudah ada radio, televisi dan gadget atau gawai. 

Di Jawa pemeo yang berbunyi “guru wajibe digugu lan ditiru” ( guru wajib diteladani dan ditiru ) bergeser menjadi “guru oleh digugu tapi ojo ditiru” ( guru boleh dipercaya tapi jangan diteladani ). 

Ini merupakan isyarat bahwa kadar kepercayaan masyarakat terhadap guru mulai menurun. 

Guru bukan lagi sosok yang patut “digugu dan ditiru” karena ada patron nilai yang ditawarkan iklan televisi dan media sosial yang memiliki daya pikat kuat meskipun kebenaran dan nilainya patut dipertanyakan. 

Menghadapi semua itu maka yang dituntut dari guru adalah menyesuaikan diri dengan perubahan dengan pola pikir bertumbuh (growth mindset). 

Di ruang kelas guru bukan saja befungsi sebagai laerning agent (agen pembelajaran) tapi juga agent of change (agen perubahan). 

Jika ini tidak dilakukan maka di tengah perubahan yang serba marathon dan tanpa tanding seperti saat ini dan ke depan posisi guru semakin gamang dan tak percaya diri baik karena tekanan pekerjaan maupun polah tingkah masyarakat konsumerisme yang sinis. 

Alasan-alasan ini saling terkait dan mencerminkan tantangan sistemik di Indonesia. 

Untuk mengatasinya, diperlukan reformasi seperti peningkatan gaji dan kampanye kesadaran masyarakat, agar guru kembali mendapatkan penghargaan yang layak.

Reformasi Sistemik 

Iklim sosial politik Indonesia saat ini sesungguhnya sangat pro dunia pendidikan dan guru. 

Keyakinan dan kesadaran bahwa untuk membangun bangsa besar sebesar bangsa Indonesia ini dibutuhkan pendidikan yang bermutu, bukan hanya menjadi keyakinan dan kesadaran para guru saja, tetapi juga sudah menjadi keyakinan dan kesadaran kolektif bangsa mulai dari presiden sampai rakyat jelatanya. 

Buah kesadaran seperti itu tercermin pada misalnya alokasi 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan, lahirnya UU Guru dan Dosen, adanya Tunjangan Profesi Guru dan berbagai regulasi dan kebijakan negara yang mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru. 

Hal terakhir yang paling mengejutkan publik adalah pernyataan dan kritik keras yang dilontarkan oleh Dr. Benediktus Kabur Harman dalam Raker teknis antara Mendikdasmen dan Menag dengan Komisi III DPR RI tanggal 19 November 2025 dengan agenda Peninjauan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

Harman dan Komisi III DPR RI mengajukan sedikitnya 5 (lima) pernyataan dan/atau tuntutan yakni 1. Profesi pendidik harus dihargai setara Dokter, tidak ada alasan lagi.  

2. Revisi UU tidak boleh berhenti pada penggantian pasal, harus mengubah nasib pendidik.      

3. Ketidakpastian status pendidik adalah kegagalan Negara.  4. Kualitas pendidikan nasional mustahil naik tanpa memuliakan pendidik. 

5. Peningkatan tunjangan profesi adalah langkah paling dasar yang harus dilakukan segera. 

Jika dicermati secara mendalam apa yang disampaikan oleh Harman dkk di Komisi III DPR RI itu searah dengan Reformasi Sistemik yang direkomendasikan OECD dan UNESCO. 

OECD melalui TALIS (Teaching and Learning International Survey) tahun 2024 yang dirilis tahun 2025 yang melibatkan 55 sistem pendidikan dan 280.000 guru menunjukkan iklim sekolah membaik (96 persen guru puas), tapi retensi rendah karena gaji tidak kompetitif (61 persen tidak puas). 

UNESCO, melalui ILO-UNESCO Recommendation 1966 (diperbarui 2024) dan High-Level Panel 2024, berfokus pada transformasi profesi guru menjadi "tenaga kerja terhormat, didukung, dan berkualifikasi tinggi". 

Santiago Consensus tahun 2025 memperkuat komitmen global untuk penguatan profesi guru dengan : Menjamin kondisi kerja yang layak, termasuk keamanan kerja, gaji kompetitif, beban kerja realistis, lingkungan kerja aman, dan penghormatan terhadap kesejahteraan, status, serta martabat, sambil mempromosikan kepemimpinan guru, otonomi pedagogis, dan kolaborasi antar sesama untuk retensi. 

Inilah yang diperjuangakan oleh lembaga-lembaga kredibel baik nasional pun internasional demi perbaikan profesi guru. 

Lantas, bagaimana guru membenah diri untuk mendukung perjuangan mereka? Jawab sendiri dan Selamat Hari Guru Nasional 25 November 2025. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved