Breaking News

Opini

Opini: Memuliakan Guru

Sedangkan memuliakan guru bersifat horizontal (hubungan antar manusia) dan lebih berfokus pada etika sosial serta pendidikan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FRANSISKUS B HORMAT
Fransiskus Borgias Hormat 

Pertama, di tengah persepsi masyarakat yang memandang pekerjaan dan penghasilan sebagai simbol status yang diperparah oleh gaya hidup konsumerisme, satu alasan utama mengapa guru tidak dimuliakan adalah karena gaji guru yang rendah, terutama bagi guru honorer, yang membuat masyarakat memandang profesi ini sebagai pilihan terakhir atau kurang prestisius. 

Dibandingkan dengan profesi lain yang memerlukan pendidikan setara, seperti dokter, gaji guru sering kali tidak sepadan dengan beban kerja mereka. 

Bayangkan saja gaji guru honorer atau guru yayasan yang hanya menerima upah Rp 300 ribu hingga Rp1 juta per bulan sementara biaya hidup terus meningkat. 

Itulah sebabnya banyak guru mencari pekerjaan sampingan dan akhirnya membentuk persepsi masyarakat bahwa guru adalah profesi mulia yang tidak layak dihormati sepenuhnya.

Kedua, masyarakat sering membentuk stereotype bahwa guru adalah profesi sepele alias gampangan, sehingga kurang dihargai. 

Akibatnya minat calon mahasiswa bertalenta termasuk Generasi Z untuk program keguruan semakin menurun. 

Hal ini diperkuat oleh media sosial yang sering mem-blow up  cerita guru yang kesulitan, sehingga masyarakat lebih memilih profesi yang dianggap status sosialnya lebih tinggi seperti pengusaha, dokter, pengacara atau influencer yang memiliki gaji dan pendapatan yang tinggi pula. 

Padahal menurut laporan OECD dalam buku Teaching as a Knowledge Profession (2021), guru memiliki basis pengetahuan pedagogis umum yang independen dari mata pelajaran, seperti pemahaman tentang pembelajaran dan pengajaran. 

Ini membuat profesi guru serupa dengan kedokteran atau hukum, tapi unik karena pengetahuannya terus diperbarui melalui praktik dan riset, dengan fokus pada adaptasi terhadap keberagaman siswa. 

Ketiga, banyak orang tua dan masyarakat tidak memahami betapa kompleksnya pekerjaan guru, seperti administrasi yang rumit, tekanan emosional dari siswa, dan tuntutan pedagogis. 

Mereka melihat guru hanya sebagai pengajar di kelas, tanpa menyadari peran mereka sebagai pendidik holistik. 

Di Indonesia, hal ini tercermin pada kasus-kasus kekerasan atau keluhan orang tua terhadap guru, seperti pemukulan atau tuntutan hukum atas disiplin siswa. 

Selama pandemi covid-19, guru harus beradaptasi dengan pembelajaran daring tanpa dukungan memadai, tapi apresiasi dari masyarakat sering kali minim, membuat mereka merasa tidak dihargai.

Keempat, dulu guru dianggap sebagai figur otoritas seperti "perpanjangan tangan Tuhan" karena posisi dan peran multitasking-nya. Tidak hanya di sekolah, tapi merambah hampir seluruh segi kehidupan masyarakat. 

Pada zaman kolonial Hindia Belanda hanya orang cerdas dan berbakatlah yang bisa menjadi guru bagi sesama pribumi lain, bahkan itu sudah menjadi pakem paska kemerdekaan sampai tahun sembilan belas enampuhan. 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved