Opini
Opini: Aku Posting, Maka Aku Ada
Aktivitas memotret, mengunggah, dan mengumpulkan reaksi menjadi ritual baru yang menentukan nilai, pengakuan, bahkan rasa percaya diri.
Ruang profesional yang seharusnya menjadi ruang berkualitas justru menjadi tempat lahirnya perilaku yang jauh dari profesional.
Di sinilah kita melihat bagaimana teknologi dapat memperbesar kecenderungan terburuk manusia ketika tidak dikontrol oleh etika.
Fenomena ini juga memunculkan “kultur kompetisi perhatian”, di mana pengguna berlomba-lomba menarik komentar sebanyak mungkin, bahkan dengan cara yang tidak bertanggung jawab.
Ketika reaksi emosional dianggap lebih berharga daripada dialog, ruang digital menjadi tidak sehat secara sosial.
Percakapan publik yang seharusnya mendorong refleksi berubah menjadi arena kompetisi tanpa substansi.
Pada akhirnya, kualitas demokrasi digital ikut terganggu karena diskusi publik kehilangan pijakan moral dan intelektual.
Dampak lain yang tidak kalah penting adalah kelelahan sosial (social fatigue).
Ketika setiap orang sibuk mengomentari, menilai, dan menanggapi hal-hal dangkal, energi sosial yang seharusnya digunakan untuk hal produktif terkuras. Masyarakat menjadi lebih reaktif daripada reflektif.
Tingginya frekuensi interaksi tidak mencerminkan kualitasnya. Banyak orang merasa “capek secara sosial” meski setiap hari berinteraksi di media sosial, karena percakapannya tidak memberi makna.
Mode profesional secara tidak langsung mempercepat kelelahan ini melalui algoritma yang menekan pengguna untuk tetap aktif.
Pada akhirnya, ruang digital kita tidak sedang berkembang menjadi ruang profesional, tetapi ruang yang bising dan menyesakkan.
Interaksi yang semu, sensasi yang diutamakan, dan komentar tanpa kendali adalah tanda bahwa media sosial sedang mengalami koreksi moral besar-besaran.
Mode profesional, yang mestinya menjadi peluang, justru menjadi alarm bahwa kualitas interaksi sosial kita berada dalam bahaya.
Maka, kritik bukan hanya penting, tetapi mendesak, agar ruang digital tetap bisa menjadi tempat manusia tumbuh, bukan terjatuh.
Mengembalikan Profesionalisme ke Ruang Profesional
Di tengah derasnya arus digital, kita harus berani mengakui bahwa ruang yang kita sebut “profesional” tidak selalu mencerminkan profesionalisme yang sebenarnya.
Mode profesional Facebook hanyalah salah satu contoh bagaimana teknologi dapat memoles wajah ruang publik namun gagal menjaga kedalaman moral penggunanya.
Ketika eksistensi diukur dari frekuensi posting, dan interaksi dihitung dari jumlah komentar, maka nilai-nilai yang selama ini menjadi fondasi kehidupan sosial kita perlahan terkikis.
Kehadiran manusia direduksi menjadi tampilan, dan percakapan direduksi menjadi statistik.
Fenomena ini bukan hanya persoalan platform, tetapi juga cerminan dari masyarakat yang sedang bingung mencari tempat bagi dirinya di dunia digital.
Kita sedang hidup dalam masa ketika batas antara autentisitas dan performa semakin tipis. Banyak orang ingin terlihat, tetapi lupa untuk hadir.
Mereka ingin viral, tetapi lupa makna dari berkarya. “Aku posting, maka aku ada” menjadi gambaran paling jujur dari kondisi ini.
Sebuah kondisi yang, bila tidak direspons secara kritis, bisa melahirkan generasi yang membangun nilai hidupnya di atas validasi semu.
Karena itu, kita perlu mengembalikan ruang digital pada fungsinya sebagai arena dialog, kreativitas, dan pertumbuhan.
Pengguna perlu belajar menyaring, memikirkan, dan mempertimbangkan sebelum menekan tombol “unggah”.
Platform pun perlu bertanggung jawab tidak hanya pada algoritma, tetapi pada kualitas ruang sosial yang mereka bentuk.
Etika digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan, bukan sekadar himbauan, tetapi fondasi yang menentukan keberlanjutan kehidupan sosial di dunia maya.
Akhirnya, eksistensi manusia tidak boleh ditentukan oleh seberapa sering ia muncul di beranda orang lain. Keberadaan kita jauh lebih dalam daripada sekadar postingan.
Tugas kita hari ini adalah mengambil jarak sejenak dari layar, melihat diri dengan jujur, dan bertanya: apakah kita sungguh hidup, atau hanya tampil?
Barangkali dari pertanyaan sederhana itu, kita bisa membebaskan diri dari budaya eksistensi semu dan kembali memahami bahwa kita “ada” bukan karena kita posting, tetapi karena kita “manusia” yang berpikir, merasa dan bertumbuh. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Goldy-Ogur.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.