Opini

Opini: Moke NTT, Jalan Tengah Menuju Legalisasi Berbasis Kearifan Lokal

Peralihan moke dari produk informal menuju produk berkualitas premium  memerlukan intervensi kualitas yang ketat pada tahap awal. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI MAURIANUS F.W DA CUNHA
Maurianus F. W. da Cunha 

Oleh: Maurianus F. W. da Cunha
Alumnus IFTK Ledalero, Flores. Saat ini bekerja dan berdomisili di Kota Bolzano, Italia Utara.

POS-KUPANG.COM - Posisi moke di Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi dilema, terperangkap antara kebutuhan untuk melestarikan simbol-simbol tradisionalnya dan statusnya yang belum sepenuhnya diakui oleh peraturan nasional resmi tentang minuman beralkohol. 

Meskipun Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 telah menetapkan dasar untuk legalisasi, perselisihan hukum dan ekonomi tetap berlanjut. 

Konflik ini memerlukan pendekatan strategis yang tidak hanya mengakui nilai budaya moke, tetapi juga meningkatkan standar produksinya ke tingkat industri yang aman dan berkualitas tinggi. 

Baca juga: PMKRI Maumere Protes Penyitaan Moke oleh Polres Sikka

Upaya strategis harus difokuskan pada peningkatan standar kualitas melalui pelatihan intensif bagi produsen dan pengembangan citra produk sebagai produk berkualitas premium. 

Edukasi Intensif dan Peningkatan Kualitas Produk

Peralihan moke dari produk informal menuju produk berkualitas premium  memerlukan intervensi kualitas yang ketat pada tahap awal. 

Peningkatan kualitas harus mengikuti praktik terbaik yang diterapkan pada minuman fermentasi dan penyulingan tradisional lainnya, seperti sake Jepang.

Sake, yang dianggap sebagai minuman nasional, tunduk pada standar teknis yang sangat ketat terkait jenis beras (酒米: baca sakamai), proses fermentasi (こうじ: baca kooji), dan kadar alkohol yang diukur (日本酒: baca nihonshu). 

Standar ini diatur oleh lembaga seperti Badan Pajak Nasional (NTA, National Tax Agency), yang tidak hanya mengawasi pajak, tetapi juga kualitas dan klasifikasi produk (Arakawa, 2021). 

Terkait moke, pemerintah daerah harus menerapkan model kontrol kualitas serupa melalui pelatihan intensif dan intervensi teknologi. 

Pelatihan bagi produsen (penyuling) harus berfokus pada tiga pilar: kebersihan proses, pengukuran kadar alkohol, dan risiko konsumsi berlebihan.

“Intervensi pengendalian kualitas di tingkat hulu, termasuk pelatihan penggunaan hidrometer dan pemantauan jejak bahan baku, merupakan prasyarat fundamental untuk menghilangkan stigma terhadap produk tradisional.” (Setyanto & Kusuma, 2024).

Moke yang dipasarkan harus dilengkapi dengan label yang mencantumkan kadar alkohol yang konsisten dan akurat untuk menjamin keamanan konsumen, mencegah keracunan, dan memastikan kredibilitas produk di pasar modern. 

Pendidikan juga harus mencakup pemahaman tentang moke sebagai minuman budaya yang konsumsinya terkait dengan norma-norma sosial, bukan sekadar minuman yang membuat orang mabuk. 

Strategi Branding Premium dan Diferensiasi Produk

Legalisasi tidak akan berhasil tanpa strategi branding yang memadai. Moke harus diubah dari minuman keras tradisional yang dikaitkan dengan isu sosial menjadi minuman premium khusus dan dihormati dari NTT. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved