Opini

Opini: Militer, Kepercayaan Publik dan Masa Depan Demokrasi

TNI yang kuat adalah TNI yang dipercaya. Dan TNI yang dipercaya adalah TNI yang terbuka pada kritik, evaluasi, serta reformasi berkelanjutan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI BERNO JANI
Berno Jani 

Oleh: Berno Jani, S. Fil
Alumnus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere Flores

POS-KUPANG.COM - Survei Indikator Politik Indonesia terbaru menunjukkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menjadi lembaga negara paling dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan mencapai 85,7 persen. 

Angka ini menegaskan bahwa di tengah dinamika politik nasional dan ketidakpastian global, TNI tetap dipandang sebagai pilar stabilitas bangsa.

Namun, di balik capaian ini, terdapat dinamika yang patut dicermati. Dua tahun terakhir, tingkat kepercayaan publik terhadap TNI mengalami penurunan bertahap, sementara proporsi warga yang menyatakan ketidakpercayaan meningkat signifikan—dari 3,5 persen pada 2023 menjadi lebih dari 11 persen pada 2025. 

Baca juga: Opini: Ketika Seragam Menjadi Luka, Catatan Kritis atas Kekejian di Tubuh TNI

Secara absolut, kepercayaan terhadap TNI tetap tinggi. Namun, tren perubahan ini menunjukkan bahwa publik semakin kritis dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dalam tata kelola pertahanan negara.

Fenomena ini bukan pertanda kemunduran, melainkan sinyal penting bahwa demokrasi Indonesia tengah memasuki fase kedewasaan institusional. 

Kepercayaan tidak lagi diberikan tanpa syarat. Ia harus dirawat melalui konsistensi profesionalisme dan integritas.

Gen Z dan Spektrum Patriotisme Baru

Generasi muda, khususnya Gen Z, tercatat sebagai kelompok dengan tingkat kepercayaan paling tinggi terhadap TNI. 

Kondisi ini sering dikaitkan dengan kuatnya narasi stabilitas dan nasionalisme dalam ekosistem media dan pendidikan, serta belum meratanya literasi sejarah kritis mengenai hubungan sipil–militer di masa lalu.

Namun, realitasnya lebih kompleks. Dalam beberapa bulan terakhir, mahasiswa dan kelompok muda turut menjadi motor penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI di berbagai daerah. 

Tuntutan mereka tegas: supremasi sipil harus dijaga, dan ekspansi fungsi militer ke urusan non-pertahanan tidak boleh dibiarkan meluas tanpa batas.

Fenomena ini memperlihatkan dua hal. Pertama, nasionalisme generasi muda tidak identik dengan kepatuhan tanpa kritik. 

Kedua, patriotisme hari ini bergerak dalam spektrum reflektif: menghargai peran historis TNI sekaligus mengawal agar prinsip konstitusi tetap dijunjung.

Generasi ini tidak menolak militer; mereka menolak kembalinya pola kekuasaan yang melampaui batas demokrasi. 

Di sinilah letak pembaruan sinyal sosial: kesetiaan tidak lagi berarti keheningan, tetapi partisipasi aktif dalam menjaga arah negara.

Kasus Prada Lucky

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved