Opini

Opini: Aku Posting, Maka Aku Ada

Aktivitas memotret, mengunggah, dan mengumpulkan reaksi menjadi ritual baru yang menentukan nilai, pengakuan, bahkan rasa percaya diri.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI GOLDY OGUR
Goldy Ogur 

Oleh: Goldy Ogur
Mahasiswa Pascasarjana Institut Filsafat danTeknologi Kreatif Ledalero, Nusa Tenggara Timur.

POS-KUPANG.COM - Di era digital hari ini, eksistensi manusia seakan mengalami pergeseran yang drastis. 

Jika dahulu keberadaan seseorang ditandai melalui relasi sosial langsung, kini ukuran kehadiran itu berpindah ke layar gawai. 

Ungkapan “Aku posting, maka aku ada” tidak lagi terdengar sebagai sindiran, melainkan gambaran paling jujur tentang bagaimana manusia membuktikan dirinya di ruang digital

Aktivitas memotret, mengunggah, dan mengumpulkan reaksi menjadi ritual baru yang menentukan nilai, pengakuan, bahkan rasa percaya diri.

Baca juga: Opini: Heboh Influencer Lebih Baik daripada Dosen?

Fenomena ini tampak jelas melalui maraknya penggunaan Facebook Professional Mode (FB Pro), fitur yang pada mulanya dirancang untuk memberi ruang kreativitas dan peluang ekonomi. 

Namun, dalam praktiknya, fitur ini sering berubah menjadi arena perburuan perhatian. Konten apa pun boleh tampil asalkan mencuri klik, komentar dan waktu. 

Kreativitas tergeser oleh kalkulasi: yang penting viral, yang penting menghasilkan. 

Dalam situasi seperti ini, nilai profesional menjadi semu; yang tersisa hanyalah hasrat untuk tampil.

Di balik euforia monetisasi ini, muncul masalah yang tak bisa diabaikan: kualitas interaksi sosial menurun drastis. 

Orang tidak lagi berbicara untuk berdialog, tetapi untuk memancing reaksi. 

Komentar yang memantik sensasi lebih dihargai daripada gagasan yang membangun. 

Akibatnya, ruang digital kita dipenuhi oleh konten-konten yang memanjakan insting bukan wawasan, membangkitkan kehebohan bukan kedalaman dan merangsang impuls bukan intelektualitas. Ini adalah gejala dari krisis etika digital yang semakin nyata.

Jika dibiarkan, budaya “Aku posting, maka aku ada” berpotensi merusak cara kita menilai diri, berhubungan dengan orang lain, serta memahami makna kehadiran. 

Digitalisasi eksistensi membuat manusia hidup untuk dilihat, bukan untuk berkembang. 

Karena itu, tulisan ini mengajak kita menengok kembali wajah ruang profesional yang telah berubah menjadi semu: adakah lagi tempat bagi mutu, etika dan kualitas interaksi? 

Atau kita semua sedang hanyut dalam zaman ketika keberadaan hanya terasa bila dunia maya menoleh ke arah kita?

Eksistensi Digital dan Krisis Identitas Baru

Dalam budaya digital saat ini, identitas manusia semakin ditentukan oleh bagaimana ia tampil di ruang publik maya. 

Facebook Professional Mode (FB Pro) memperkuat dinamika ini dengan memberikan insentif berupa pendapatan, jangkauan dan status kreator. 

Akibatnya, banyak pengguna terdorong untuk membangun citra diri yang sesuai dengan selera algoritma, bukan dengan realitas jati diri mereka. 

Identitas menjadi performatif dan bukan reflektif. Manusia hadir bukan sebagai dirinya, tetapi sebagai versi terbaik dari dirinya yang ingin ia jual.

Fenomena ini melahirkan apa yang disebut oleh sebagian sosiolog sebagai “identitas komodifikasi”, yakni ketika diri manusia berubah menjadi produk. 

Setiap momen, aktivitas, bahkan perasaan didorong untuk dipamerkan agar mendapat validasi publik. Ketika unggahan mendapat banyak respons, seseorang merasa berarti. 

Sebaliknya, ketika postingan sepi, ia merasa tidak cukup baik. Sebuah pola pikir berbahaya yang menggantungkan martabat pada like dan komentar. 

Pada titik ini, posting bukan lagi sekadar aktivitas, tetapi bukti eksistensi.

Krisis identitas semakin terlihat ketika banyak orang memilih membuat konten sensasional hanya untuk menaikkan statistik. 

Semula, ruang profesional dimaksudkan sebagai tempat menghasilkan karya atau pengetahuan. 

Namun, ketika insentif algoritma lebih menghargai keterkejutan dan sensasi, kualitas konten bergeser. Identitas kreator pun bergeser: dari pembuat karya menjadi pembuat kehebohan. 

Mereka tidak berusaha menjadi autentik, tetapi menjadi viral. Inilah saat ketika eksistensi tidak dibangun oleh keahlian, melainkan oleh visibilitas.

Lebih jauh, eksistensi digital ini memengaruhi cara orang memahami sukses dan kebermaknaan hidup. 

Orang yang rajin mengunggah dianggap lebih produktif, lebih menarik, atau lebih berhasil dibanding mereka yang memilih diam. 

Media sosial mengajarkan bahwa “yang terlihat lebih penting daripada yang dilakukan”. 

Akibatnya, keheningan, kedalaman berpikir dan proses panjang yang tidak tampak menjadi kurang dihargai. 

Banyak generasi muda terjebak dalam persepsi bahwa tanpa posting, mereka tidak berkembang.

Dalam lanskap seperti ini, mode profesional Facebook tidak lagi menjadi ruang profesional, tetapi ruang semu yang mensimulasikan kesuksesan. 

Orang tampak aktif, tetapi tidak selalu produktif. Mereka terlihat kreatif, tetapi sering kali hanya mengikuti arus. 

Eksistensi digital yang palsu ini membentuk krisis identitas kolektif: kita sibuk tampil, tetapi lupa menjadi. 

Kita ada hanya ketika dunia maya melihat, bukan ketika kita sungguh hidup.

Degradasi Kualitas Interaksi dan Dampaknya bagi Kehidupan Sosial

Selain memengaruhi identitas, budaya “Aku posting, maka aku ada” juga merusak kualitas interaksi di media sosial. 

Mode profesional mendorong pengguna untuk fokus pada engagement, bukan hubungan. 

Akibatnya, komentar, pesan dan interaksi lebih diarahkan untuk meningkatkan angka, bukan membangun percakapan. 

Banyak diskusi berubah menjadi pameran emosi spontan, candaan yang melewati batas, atau respons yang tidak mempertimbangkan etika. 

Interaksi digital kehilangan kehangatan dan kedalaman, berganti dengan kalkulasi dan impuls.

Degradasi ini semakin terlihat ketika komentar-komentar liar muncul dalam unggahan publik yang sering kali tidak relevan, tidak sopan, bahkan merendahkan. 

Banyak pengguna memanfaatkan anonimitas dan jarak digital untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak akan mereka katakan dalam dunia nyata. 

Ruang profesional yang seharusnya menjadi ruang berkualitas justru menjadi tempat lahirnya perilaku yang jauh dari profesional. 

Di sinilah kita melihat bagaimana teknologi dapat memperbesar kecenderungan terburuk manusia ketika tidak dikontrol oleh etika.

Fenomena ini juga memunculkan “kultur kompetisi perhatian”, di mana pengguna berlomba-lomba menarik komentar sebanyak mungkin, bahkan dengan cara yang tidak bertanggung jawab. 

Ketika reaksi emosional dianggap lebih berharga daripada dialog, ruang digital menjadi tidak sehat secara sosial. 

Percakapan publik yang seharusnya mendorong refleksi berubah menjadi arena kompetisi tanpa substansi. 

Pada akhirnya, kualitas demokrasi digital ikut terganggu karena diskusi publik kehilangan pijakan moral dan intelektual.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah kelelahan sosial (social fatigue). 

Ketika setiap orang sibuk mengomentari, menilai, dan menanggapi hal-hal dangkal, energi sosial yang seharusnya digunakan untuk hal produktif terkuras. Masyarakat menjadi lebih reaktif daripada reflektif. 

Tingginya frekuensi interaksi tidak mencerminkan kualitasnya. Banyak orang merasa “capek secara sosial” meski setiap hari berinteraksi di media sosial, karena percakapannya tidak memberi makna. 

Mode profesional secara tidak langsung mempercepat kelelahan ini melalui algoritma yang menekan pengguna untuk tetap aktif.

Pada akhirnya, ruang digital kita tidak sedang berkembang menjadi ruang profesional, tetapi ruang yang bising dan menyesakkan. 

Interaksi yang semu, sensasi yang diutamakan, dan komentar tanpa kendali adalah tanda bahwa media sosial sedang mengalami koreksi moral besar-besaran. 

Mode profesional, yang mestinya menjadi peluang, justru menjadi alarm bahwa kualitas interaksi sosial kita berada dalam bahaya. 

Maka, kritik bukan hanya penting, tetapi mendesak, agar ruang digital tetap bisa menjadi tempat manusia tumbuh, bukan terjatuh.

Mengembalikan Profesionalisme ke Ruang Profesional

Di tengah derasnya arus digital, kita harus berani mengakui bahwa ruang yang kita sebut “profesional” tidak selalu mencerminkan profesionalisme yang sebenarnya. 

Mode profesional Facebook hanyalah salah satu contoh bagaimana teknologi dapat memoles wajah ruang publik namun gagal menjaga kedalaman moral penggunanya. 

Ketika eksistensi diukur dari frekuensi posting, dan interaksi dihitung dari jumlah komentar, maka nilai-nilai yang selama ini menjadi fondasi kehidupan sosial kita perlahan terkikis. 

Kehadiran manusia direduksi menjadi tampilan, dan percakapan direduksi menjadi statistik.

Fenomena ini bukan hanya persoalan platform, tetapi juga cerminan dari masyarakat yang sedang bingung mencari tempat bagi dirinya di dunia digital. 

Kita sedang hidup dalam masa ketika batas antara autentisitas dan performa semakin tipis. Banyak orang ingin terlihat, tetapi lupa untuk hadir. 

Mereka ingin viral, tetapi lupa makna dari berkarya. “Aku posting, maka aku ada” menjadi gambaran paling jujur dari kondisi ini. 

Sebuah kondisi yang, bila tidak direspons secara kritis, bisa melahirkan generasi yang membangun nilai hidupnya di atas validasi semu.

Karena itu, kita perlu mengembalikan ruang digital pada fungsinya sebagai arena dialog, kreativitas, dan pertumbuhan. 

Pengguna perlu belajar menyaring, memikirkan, dan mempertimbangkan sebelum menekan tombol “unggah”. 

Platform pun perlu bertanggung jawab tidak hanya pada algoritma, tetapi pada kualitas ruang sosial yang mereka bentuk. 

Etika digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan, bukan sekadar himbauan, tetapi fondasi yang menentukan keberlanjutan kehidupan sosial di dunia maya.

Akhirnya, eksistensi manusia tidak boleh ditentukan oleh seberapa sering ia muncul di beranda orang lain. Keberadaan kita jauh lebih dalam daripada sekadar postingan. 

Tugas kita hari ini adalah mengambil jarak sejenak dari layar, melihat diri dengan jujur, dan bertanya: apakah kita sungguh hidup, atau hanya tampil? 

Barangkali dari pertanyaan sederhana itu, kita bisa membebaskan diri dari budaya eksistensi semu dan kembali memahami bahwa kita “ada” bukan karena kita posting, tetapi karena kita “manusia” yang berpikir, merasa dan bertumbuh. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved