Opini

Opini: Menjaga Tata Kelola dan Keberlanjutan Bank NTT di Tengah Masa Transisi 

Total ekuitas Bank NTT baru mencapai sekitar Rp2,7 triliun, masih terdapat selisih sekitar Rp300 miliar dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WILHELMUS M ADAM
Wilhelmus Mustari Adam 

Ketidakpastian dalam kepemimpinan dapat menimbulkan kesan lemahnya proses pengambilan keputusan dan potensi stagnasi dalam arah strategis perusahaan.

Perpanjangan jabatan Plt, meski dilakukan dengan alasan menunggu proses administratif dari OJK, tetap harus ditempatkan dalam koridor hukum yang jelas. 

Prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam perbankan tidak hanya berlaku pada manajemen risiko keuangan, tetapi juga dalam aspek kelembagaan dan tata kelola. 

Kepemimpinan yang bersifat sementara terlalu lama dapat menghambat konsistensi kebijakan dan pelaksanaan strategi bisnis jangka menengah Bank NTT.

Jika status Plt Dirut melebihi 6 bulan dari tenggat waktu yang diatur dalam dua regulasi utama, tentunya dapat dipastikan melanggar prinsip tata kelola sebagaimana regulasi OJK yang termuat dalam POJK Nomor 17/POJK.03/2023. Hal lain tidak mematuhi prinsip tata kelola korporasi (GCG).

Tantangan Modal Inti Rp3 Triliun Yang Belum Terpenuhi

Selain persoalan kepemimpinan, tantangan serius yang dihadapi Bank NTT adalah belum terpenuhinya kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun sebagaimana diatur oleh OJK. 

Hingga akhir September 2025, berdasarkan data publikasi neraca keuangan Bank NTT, kondisi permodalan menunjukkan bahwa modal disetor tercatat sebesar Rp2.138.108 juta, dan tambahan dana setoran modal sebesar Rp100.000 juta—yang berasal dari kerja sama Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan Bank Jatim. 

Dengan demikian, total ekuitas Bank NTT baru mencapai sekitar Rp2,7 triliun, masih terdapat selisih sekitar Rp300 miliar dari ketentuan minimal yang dipersyaratkan.

Belum terpenuhinya modal inti bank NTT sampai saat ini mengundang pertanyaan publik akan komitmen dan profesionalitas OJK dalam menerapkan peraturan yang telah dihasilkanya. 

Secara fakta tidak menimbulkan goncangan kondisi perbankan, sehingga menjadi celah bagi jajaran direksi dan komisaris bank NTT untuk tidak serius memenuhi dan menaatinya.

Kerja sama melalui skema KUB dengan Bank Jatim pada dasarnya merupakan langkah strategis yang tepat untuk memperkuat struktur permodalan dan meningkatkan efisiensi operasional. 

Namun, fakta bahwa setoran Rp100 miliar dari Bank Jatim pada September 2025 belum mampu mengangkat posisi modal inti Bank NTT hingga batas Rp3 triliun menunjukkan bahwa langkah tersebut belum cukup efektif. 

Artinya, Bank NTT masih menghadapi pekerjaan besar dalam memenuhi ketentuan permodalan, baik melalui penambahan setoran modal dari pemegang saham daerah maupun melalui strategi bisnis yang mampu meningkatkan laba ditahan secara signifikan.

Keterlambatan pemenuhan modal inti bukan hanya persoalan administratif, melainkan juga menyangkut daya saing dan kelangsungan bisnis bank daerah. 

Bank dengan modal inti yang belum memenuhi ketentuan OJK berpotensi mengalami keterbatasan dalam pengembangan produk, pembukaan jaringan, serta penyaluran kredit skala besar. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved