Opini
Opini: Soeharto dan Penjernihan Makna Pahlawan
Pemerintah beralasan bahwa jasa Soeharto dalam menjaga stabilitas nasional dan mendorong pembangunan ekonomi layak diapresiasi.
Oleh: Vitalis Wolo
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, memicu perdebatan serius di ruang publik.
Soeharto ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar tertinggi kenegaraan, melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Pemerintah beralasan bahwa jasa Soeharto dalam menjaga stabilitas nasional dan mendorong pembangunan ekonomi layak diapresiasi.
Namun di luar istana, suara penolakan bergema. Aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan keluarga korban Orde Baru menilai keputusan ini sebagai langkah mundur.
Baca juga: Opini: Memori yang Retak, Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto
Mereka menegaskan bahwa negara sedang memutihkan masa lalu tanpa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM, pembungkaman oposisi, dan praktik korupsi yang mengakar.
Perdebatan ini bukan sekadar tentang siapa yang pantas diberi gelar pahlawan, melainkan tentang bagaimana bangsa ini mendefinisikan heroisme dan keutamaan moral serta menjernihkan kembali makna kepahlawanan.
Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa arete — kebajikan — adalah inti kehidupan yang baik.
Manusia disebut unggul bukan karena kekuasaan atau keberhasilan semata, tetapi karena karakter yang menuntun tindakan menuju kebaikan bersama.
Keberanian tanpa kebijaksanaan bukanlah keutamaan, sebab virtue selalu berporos pada keseimbangan dan tujuan moral.
Jika ukuran ini diterapkan pada konteks sejarah Indonesia, maka heroisme tidak dapat diukur hanya dari hasil pembangunan atau kestabilan politik.
Keberhasilan yang dicapai lewat kekerasan atau ketidakadilan tidak menghasilkan kebajikan, melainkan sekadar efisiensi kekuasaan.
Josef Pieper, filsuf Jerman, memperdalam pandangan ini. Dalam The Four Cardinal Virtues, ia menulis bahwa keberanian sejati lahir dari kebijaksanaan dan berakar pada keadilan.
Keberanian tanpa keadilan hanyalah bentuk kebuasan. Heroisme, bagi Pieper, bukanlah keberanian menaklukkan musuh, melainkan keteguhan untuk tidak menyimpang dari kebenaran bahkan ketika seluruh dunia menentangnya.
Dengan kerangka itu, tindakan represif, pembungkaman, dan kekerasan negara terhadap rakyatnya bertentangan langsung dengan roh heroisme. Pahlawan sejati melindungi kehidupan, bukan menundukkannya.
Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh dengan rekam jejak ambivalen berisiko merelatifkan standar moral bangsa.
Bila “jasa pembangunan” dijadikan ukuran tunggal, maka heroisme berubah menjadi perhitungan politis.
Negara berpotensi menghapus ingatan kolektif tentang penderitaan rakyat, menjadikan sejarah alat legitimasi kekuasaan.
Bangsa yang menoleransi pelupaan seperti ini kehilangan kompas moral. Ia menulis ulang sejarah bukan dengan tinta kebenaran, melainkan dengan narasi kemenangan.
Padahal, gelar pahlawan seharusnya berfungsi sebagai cermin nilai bersama—pengingat bahwa kebajikan tidak boleh dikalahkan oleh otoritas kekuasaan.
Di titik ini, pemikiran Andrew Bernstein memberi relevansi kontemporer. Ia mendefinisikan pahlawan sebagai individu yang menunjukkan keagungan moral dan keteguhan nilai di tengah oposisi besar, serta mencapai kemenangan—setidaknya secara spiritual.
Pahlawan, bagi Bernstein, bukan figur tanpa cela, melainkan manusia yang konsisten mempertahankan nilai luhur ketika berhadapan dengan tekanan dan bahaya.
Dengan kacamata Bernstein, heroisme Soeharto hanya dapat diuji bukan dari keberhasilannya memimpin pembangunan, melainkan dari sejauh mana ia mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan di tengah pergulatan kekuasaan.
Di sinilah penilaian publik menemukan kegamangan: di antara keberhasilan teknokratis dan jejak penderitaan manusia yang belum disembuhkan.
Pahlawan sejati bukan sekadar produk sejarah, melainkan penjaga nurani bangsa. Mereka mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa moralitas akan menghancurkan makna pengorbanan.
Gelar pahlawan mestinya menjadi pernyataan moral tertinggi negara—bahwa kebajikan lebih berharga daripada stabilitas politik.
Karena itu, penghargaan terhadap tokoh seperti Soeharto tanpa disertai rekonsiliasi dan klarifikasi moral yang jujur dapat merusak makna simbolik penghargaan itu sendiri.
Ia mengaburkan batas antara penghormatan dan pengkhianatan terhadap nilai.
Penjernihan makna kepahlawanan bukanlah upaya menghapus jasa siapa pun, melainkan usaha menegakkan standar moral yang konsisten.
Aristoteles menuntut kebajikan; Pieper menegaskan keadilan; Bernstein mengingatkan pentingnya kemenangan moral.
Ketiganya menuntun kita pada satu kesimpulan: pahlawan sejati bukanlah sosok yang menang karena kekuasaan, tetapi yang menang karena kesetiaan pada kebenaran.
Bangsa yang menukar keadilan dengan nostalgia stabilitas sedang kehilangan arah moralnya. Dan negara yang memberi gelar pahlawan tanpa menimbang keutamaan justru mengkhianati nilai yang hendak dihormatinya.
Penghormatan sejati kepada para pahlawan bukanlah menambah daftar nama, tetapi menjaga makna suci dari kepahlawanan itu sendiri. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Vitalis-Wolo2.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.