Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 9 November 2025: Bait Allah Sejati yang Hidup

Runtuhnya Bait Allah menjadi tanda kehancuran rohani dan moral bangsa Israel sendiri. Mereka diasingkan ke Babel selama hampir 70 tahun. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI POS-KUPANG.COM
Leo Mali 

Oleh: RD. Leo Mali
Rohaniwan dan Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Salomo mendirikan Bait Allah di Yerusalem pada sekitar tahun 957 sebelum Masehi (lih. 1 Raja-Raja 6:1). 

Pembangunan itu menjadi puncak karya Raja terbesar Israel, simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya. 

Namun pada tahun 586 SM, Bait Allah dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah kepemimpinan Raja Nebukadnezar II. 

Runtuhnya Bait Allah menjadi tanda kehancuran rohani dan moral bangsa Israel sendiri. Mereka diasingkan ke Babel selama hampir 70 tahun. 

Baca juga: Renungan Harian Katolik Sabtu 8 November 2025, "Setia dan Jujur Dalam Hal Kecil"

Setelah masa pembuangan berakhir melalui dekrit yang dikeluarkan olehKoresh, Raja Persia (538 SM), bangsa Yehuda diperbolehkan kembali ke Yerusalem

Di bawah pimpinan Zerubabel dan Imam Besar Yosua bin Yozadak, mereka mulai membangun kembali Bait Allah dari tahun 536 hingga 515 SM, seperti dikisahkan dalam Kitab Ezra 3–6. 

Itulah Bait Allah kedua, yang kemudian diperindah oleh Herodes Agung pada abad pertama sebelum Masehi, hingga akhirnya Kembali dihancurkan oleh pasukan Titus dari Imperium Romawi pada tahun 70 Masehi.

Bagi bangsa Israel, Bait Allah adalah tempat kediaman Allah di bumi, pusat perjumpaan antara surga dan dunia. 

Karena itu, mereka selalu menempatkan Bait Allah di tengah pemukiman, sebab di sanalah Tabut Perjanjian ditempatkan —tabut yang berisi dua loh batu berisi Sepuluh Perintah Allah (lih. Keluaran 25:16–22). 

Dengan membangun Bait Allah di tengah, bangsa Israel menegaskan keyakinan bahwa Allah adalah pusat hidup mereka, sumber seluruh gerak kehidupan. 

Dengan menempatkan Bait Allah di jantung kota Yerusalem, ia menjadi bukan hanya pusat ibadat, tetapi juga pusat kebudayaan dan sosial kehidupan Israel. 

Semua jalan hidup mengalir menuju Bait Allah; semua harapan dan doa umat bermuara di sana. Namun lambat laun, arus manusia yang datang membawa beragam kepentingan membuat fungsi suci itu bergeser. 

Tempat kudus menjadi tempat dagang, rumah doa menjadi pasar. Orang datang bukan lagi untuk menyembah Allah, tetapi untuk bertransaksi. 

Itulah yang dilihat Yesus ketika Ia datang ke Yerusalem. Dalam Injil Yohanes 2:13–22, Yesus “mengusir semua penjual domba dan lembu serta penukar uang dari Bait Allah.” 

Ia menggulingkan meja-meja mereka sambil berseru: “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!”

Sebagai seorang Yahudi yang taat, Yesus tersentuh oleh penyimpangan ini. Bait Allah yang seharusnya menjadi lambang persekutuan dengan Allah justru menjadi simbol kerakusan manusia.

Tindakan Yesus bukan sekadar reaksi emosional, tetapi pengajaran profetis. Ia membongkar kepalsuan iman yang terjebak dalam rutinitas dan kepentingan ekonomi. 

Ia menyingkapkan bahwa inti Bait Allah bukan terletak pada bangunannya, tetapi pada hubungan sejati antara manusia dan Allah. 

Dalam tradisi Israel, setiap orang datang ke Bait Allah untuk memperbarui perjanjian kasihnya dengan Allah, untuk mengingat kembali panggilan “Shema Israel: 

Dengarlah, hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!” (Ulangan 6:4–5). 

Tetapi pada zaman Yesus, perjumpaan ini kehilangan maknanya. Orang sibuk dengan ritual dan keuntungan; Allah sendiri tidak lagi dicari. 

Yesus lalu berbicara secara simbolis: “Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yohanes 2:19). 

Orang-orang tidak mengerti bahwa Ia berbicara tentang tubuh-Nya sendiri—Bait Allah yang sejati, tempat di mana Allah berdiam di tengah manusia. 

Dalam diri Yesus, Allah tidak lagi hadir dalam bangunan batu, tetapi dalam daging manusia (lih. Yohanes 1:14). 

Dari lambung-Nya yang tertikam mengalir air dan darah—tanda kehidupan baru yang menguduskan dan menghidupkan (lih. Yohanes 19:34).

Tindakan dan kata-kata Yesus mengubah seluruh pandangan iman: Bait Allah bukan lagi sekadar bangunan di Yerusalem, tetapi setiap orang yang hidup dalam Roh Allah. 

Santo Paulus mengingatkan: “Kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah... dan Bait Allah adalah kamu sendiri, karena Roh Allah diam di dalam kamu”(1Korintus 3:9b.16–17). 

Maka, setiap orang beriman dipanggil menjadi tempat kehadiran Allah di dunia, menjadi mata air yang menghidupkan sebagaimana sungai
yang keluar dari Bait Allah dalam nubuat Yehezkiel (47:1–12). 

Perayaan pesta Pemberkatan Basilika St. Yohanes Lateran pada tanggal 9 November setiap tahun menggemakan kebenaran ini. 

Basilika Lateran dibangun oleh Kaisar Konstantinus pada abad ke-4 sebagai katedral Sri Paus sebagai Uskup Roma. 

Karena itu ia disebut “Ibu dan Kepala semua Gereja di kota dan di dunia” (Omniumurbis et orbis ecclesiarum mater et caput). 

Pesta ini mengajak seluruh umat untuk merenungkan bahwa Gereja bukan hanya gedung, melainkan persekutuan umat yang menjadi Bait Allah yang hidup. 

Setiap kali kita berkumpul untuk berdoa, beribadah, dan merayakan Ekaristi, kita sedang memperbarui diri sebagai Bait Allah

Semoga kasih yang mengalir dari Kristus menjadikan hidup kita sebagai tempat Allah berdiam, tempat kasih-Nya memancar dan mengalirkan rahmat bagi dunia. Amin. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved