Opini

Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial

Jaringan disinformasi WhatsApp di Brasil mendorong radikalisasi politik dan merusak kredibilitas institusional. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Di Indonesia, komodifikasi menciptakan lingkaran umpan balik: polarisasi politik meningkatkan keterlibatan, keterlibatan mendorong keuntungan, dan keuntungan membiayai polarisasi yang lebih besar.

Kembalinya Leviathan dan Krisis Akal Sehat Publik

Seiring meningkatnya tingkat persaingan digital, akal sehat publik melemah. 

Ketakutan Hobbes terhadap anarki manifestasi dalam bentuk fragmentasi epistemik, di mana warga negara hidup dalam realitas yang berbeda-beda yang diciptakan oleh algoritma. 

Akibatnya, masyarakat terombang-ambing antara sinisme dan fanatisme, yang memfasilitasi perilaku tirani.  

Konsep "governmentality" Foucault membantu kita memahami paradoks ini: kekuasaan dicapai melalui pembentukan ruang lingkup pemikiran yang mungkin daripada penindasan langsung. 

Diskursus sipil kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis ketika narasi menjadi topik utama diskusi di media sosial

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di India, propaganda digital yang terkoordinasi telah menggabungkan nasionalisme dengan populisme berbasis platform (Bradshaw & Howard, 2019). 

Jaringan disinformasi WhatsApp di Brasil mendorong radikalisasi politik dan merusak kredibilitas institusional. 

Pemerintahan Duterte di Filipina menunjukkan bagaimana ekosistem digital dapat digunakan untuk intimidasi moral dan mobilisasi populis. 

Indonesia kini menghadapi risiko struktural serupa: perang online tentang legitimasi menggantikan debat kebijakan tentang ketidaksetaraan, tata kelola, dan keadilan.

Hobbes berpendapat bahwa perdamaian memerlukan adanya penguasa yang mampu memulihkan ketertiban.  

Namun, dalam ekosistem media saat ini, kedaulatan terbagi antara jaringan, influencer, dan algoritma. 

Leviathan modern bukanlah seorang raja maupun pemerintah; melainkan, ia adalah jaringan pengaruh yang terdistribusi yang mengendalikan melalui perhatian dan emosi. 

Negara, perusahaan, dan individu semua berpartisipasi dalam sistem ini, mempertahankan perang tanpa henti “semua melawan semua” di pasar narasi. 

Imajinasi politik Hobbes semakin relevan di era media sosial. Perjuangan untuk bertahan hidup telah berevolusi dari pertempuran fisik menjadi perang informasi, di mana narasi berfungsi sebagai peluru dan perhatian menjadi medan pertempuran. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved