Opini

Opini: Pendidikan di Bawah Awan Panas

Ketika suhu di Kupang menembus 36 derajat Celsius, kita tidak bisa mengharapkan anak-anak kita belajar secara optimal.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DODY KUDJI LEDE
Dody Kudji Lede 

Pertanyaannya, apa hubungan antara anomali cuaca dengan kemampuan seorang siswa sekolah dasar di sana untuk memahami pelajaran? Jawabannya: sangat erat.

Riset ilmiah telah memberikan bukti yang tak terbantahkan. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Harvard University (Park et al., 2020) menemukan bahwa fungsi kognitif siswa menurun secara signifikan pada hari-hari yang lebih panas. 

Paparan suhu tinggi yang berkepanjangan di ruang kelas—terutama di bangunan sekolah di Kupang yang sering kali minim ventilasi—secara langsung menurunkan kemampuan siswa untuk fokus, memproses informasi, dan menyimpan memori. 

Ketika suhu di Kupang menembus 36 derajat Celsius, kita tidak bisa mengharapkan anak-anak kita belajar secara optimal. 

Mereka mungkin hadir secara fisik, tetapi kapasitas mental mereka tergerus oleh dehidrasi dan kelelahan termal.

Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC, 2023) juga kembali menegaskan bahwa peningkatan suhu global dan perubahan pola curah hujan berdampak langsung pada kesehatan dan produktivitas manusia, termasuk kemampuan kognitif anak-anak. 

Dalam konteks pendidikan dasar, perubahan iklim bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi juga isu pendidikan dan masa depan generasi.

Lebih jauh, perubahan iklim juga memukul fondasi gizi. Kekeringan yang berkepanjangan, telah menjadi ciri khas baru iklim Timor, menyebabkan gagal panen jagung dan komoditas pangan lokal lainnya. 

Bagi keluarga di pedalaman Timor, ini berarti meningkatnya kerawanan pangan. 

Laporan dari UNICEF dan Bank Dunia secara konsisten menghubungkan malnutrisi dan stunting—yang angkanya masih mengkhawatirkan di NTT—dengan penurunan kinerja akademik dan perkembangan otak yang tidak optimal. 

Stres panas di luar dan kekurangan gizi di dalam menciptakan siklus setan yang mengunci potensi generasi masa depan kita.

Sebagai contoh, di Kupang Barat dan Pulau Semau, situasinya kian  kompleks. 

Kondisi geografis yang kering, minim tutupan vegetasi, serta ketergantungan pada sumber air tanah dangkal menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap fluktuasi cuaca ekstrem

Saat musim kemarau memanjang, air sulit didapat; sementara pada musim hujan, banjir rob dan genangan merusak akses jalan menuju sekolah. 

Kombinasi ini mengganggu kehadiran siswa, konsentrasi belajar, dan bahkan gizi anak-anak yang bergantung pada hasil pertanian lokal.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved