Opini
Opini: Pendidikan di Bawah Awan Panas
Ketika suhu di Kupang menembus 36 derajat Celsius, kita tidak bisa mengharapkan anak-anak kita belajar secara optimal.
Ini jelas menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak hanya menimbulkan gangguan sesaat.
Sebab dalam jangka panjang, ia mengancam kapasitas belajar kolektif generasi muda Timor.
Data UNICEF (2022) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di wilayah rawan iklim berpotensi mengalami learning loss hingga 20 persen lebih besar dibanding anak-anak di daerah beriklim stabil.
Jika kita gagal mengintervensi, proyeksi ke depan sangat suram. Kita tidak hanya akan kehilangan produktivitas pertanian, tetapi kita sedang mempertaruhkan hilangnya satu generasi SDM unggul. Kesenjangan sosial akan kian menganga.
Anak-anak dari keluarga rentan di pesisir, yang paling terdampak oleh cuaca ekstrem (banjir rob, badai) dan kekeringan, akan menjadi yang paling tertinggal dalam pendidikan.
Jika dibiarkan, ini bukan hanya menjadi krisis pendidikan, melainkan juga krisis pembangunan manusia di masa depan.
Paradigma dan Solusi
Melihat semua kenyaatan ini, harus ada perubahan paradigma secara fundamental sehingga dapat menghadirkan solusi yang tidak lagi bersifat parsial atau sektoral.
Sekolah Dasar dapat menjadi garda terdepan membangun ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim.
Edukasi lingkungan bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan harus menjadi bagian dari kurikulum kontekstual yang menumbuhkan kesadaran dan kemampuan adaptasi sejak dini.
Kita juga memerlukan intervensi adaptasi yang mendesak di pusat-pusat pembelajaran. Konsep "Sekolah Tangguh Iklim" harus segera diimplementasikan.
Ini bukan tentang teknologi canggih, melainkan intervensi sederhana namun vital: memastikan setiap sekolah memiliki akses air minum bersih yang memadai, memperbaiki ventilasi ruang kelas, dan program penghijauan masif di halaman sekolah untuk menciptakan zona mikro yang lebih sejuk.
Untuk jangka panjang, solusinya terletak pada kolaborasi sistemik. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kupang dan Kota Kupang tidak bisa berjalan sendiri tetapi harus menjadi fasilitator yang merangkul sektor privat (swasta) dan organisasi non-pemerintah (NGO).
Sektor swasta, melalui program CSR mereka, dapat berinvestasi dalam infrastruktur sekolah yang lebih "hijau" atau eco-school— sekolah yang ramah iklim dan berbasis mitigasi bencana lokal melalui edukasi perubahan iklim.
Program kemitraan untuk pendidikan iklim yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan lokal, UMKM, dan NGO, bisa menjadi model kolaborasi yang efektif.
Tujuannya tidak hanya memberikan materi ajar, tetapi juga menciptakan ruang belajar yang aman dan adaptif bagi anak-anak di tengah cuaca yang semakin tak menentu.
| Opini: Paradoks NTT, Pengangguran Rendah Kemiskinan Tinggi |
|
|---|
| Opini: Alarm Merah Flobamora di Bawah Ancaman Darurat Predatorisme Anak |
|
|---|
| MBG: Kualitas Atau Kuantitas Pendidikan |
|
|---|
| Opini: By Product Ikan Berpotensi Menyelamatkan Gizi Masyarakat dan Dompet Peternak |
|
|---|
| Opini: TKA Mendorong Terwujudnya Asesmen yang Obyektif dan Adil |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Dody-Kudji-Lede2.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.