Opini

Opini: Paradoks NTT, Pengangguran Rendah Kemiskinan Tinggi

Pada Februari tahun 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT sebesar 3,23 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 4,76 persen. 

|
Editor: Dion DB Putra
FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Oleh: Agung Setiawan Samuel Putra, S.Tr.Stat 
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) baru-baru ini mencatatkan prestasi yang menarik perhatian publik ekonomi nasional. 

Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi NTT termasuk dalam delapan besar provinsi dengan tingkat pengangguran terendah di Indonesia. 

Pada Februari tahun 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT sebesar 3,23 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 4,76 persen. 

Di atas kertas, capaian ini seolah menjadi kabar baik di mana masyarakat NTT tampak produktif, lapangan kerja tersedia, dan roda ekonomi berputar. 

Baca juga: Opini: TKA Mendorong Terwujudnya Asesmen yang Obyektif dan Adil

Namun, di balik rendahnya angka pengangguran yang menenangkan itu, tersimpan paradoks: banyak yang bekerja, tetapi belum menikmati pekerjaan yang produktif dan bernilai ekonomi tinggi.

Banyak warga NTT memang bekerja, tetapi bekerja tidak selalu berarti sejahtera. 

Sebagian besar masyarakat hidup dari sektor pertanian yang kecil, perikanan tradisonal, berdagang di pasar atau hanya bekerja serabutan. 

Mereka bangun pagi, bekerja keras sepanjang hari di tengah terik panasnya matahari timur, tetapi hasilnya kerap hanya cukup untuk kebutuhan di hari itu. 

Berdasarkan publikasi Indikator Ketenagakerjaan Provinsi NTT tahun 2024 yang dirilis oleh BPS Provinsi NTT, jumlah penduduk NTT yang bekerja di sektor primer mencapai 49,91 persen, atau nyaris separuh dari jumlah penduduk NTT. 

Hal ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi masih didominasi oleh sektor, seperti pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dan lainnya.

Menurut BPS mengacu pada standar dari International Labour Organization (ILO), definisi seseorang dikatakan bekerja adalah apabila orang tersebut melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh upah paling sedikit satu jam dalam seminggu. 

Dengan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa seorang anggota keluarga petani yang hanya membantu di sawah atau ladang keluarga pun dalam seminggu terakhir dicatat sebagai “bekerja” dengan status pekerja keluarga /tidak dibayar. 

Data BPS tahun 2024 menunjukkan persentase pekerja keluarga/pekerja tidak dibayar di NTT mencapai 24,67 persen. 

Angka ini relatif cukup besar jika dibandingkan dengan proporsi penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai sebesar 25,54 persen. 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved