Opini

Opini: NTT Dalam Fakta Perdagangan Manusia

Ribuan warga NTT, terutama perempuan dan anak-anak muda, menjadi korban perdagangan manusia dalam lima tahun terakhir. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YOSAFAT E LAMONGE
Yosafat Eugenius Lamonge 

Dalam kondisi seperti ini, tawaran bekerja di luar daerah dengan iming-iming gaji besar menjadi satu-satunya jalan keluar yang tampak realistis. 

Padahal, jalan itu seringkali berujung pada penderitaan dan kehilangan.

Penegakan Hukum dan Tantangan Implementasi

Secara normatif, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memberantas perdagangan manusia, terutama melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Namun, implementasinya di NTT menghadapi banyak hambatan. Penegakan hukum sering kali tidak berjalan maksimal karena koordinasi antar lembaga belum solid, sumber daya manusia penegak hukum terbatas, dan korban enggan melapor akibat ancaman maupun stigma sosial. 

Banyak kasus menunjukkan bahwa proses penyelidikan berhenti di tingkat lokal, sementara aktor utama berada di luar jangkauan hukum daerah. 

Rantai pelaku perdagangan manusia bersifat lintas wilayah dan bahkan lintas negara, sehingga penanganannya memerlukan kerja sama antarprovinsi dan antarlembaga. 

Tanpa sistem koordinasi yang kuat, penegakan hukum hanya akan menyasar pelaku kecil sementara dalang utama tetap bebas.

Selain itu, perlindungan terhadap korban selama proses hukum masih belum optimal. 

Banyak korban yang harus kembali ke kampung halaman tanpa pendampingan hukum memadai, sementara trauma fisik dan psikis belum tertangani. 

Idealnya, aparat penegak hukum tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan menyeluruh bagi korban. 

Untuk itu, diperlukan pelatihan khusus bagi aparat kepolisian, jaksa, dan hakim agar memiliki perspektif HAM dan sensitif terhadap trauma korban. 

Penegakan hukum juga perlu disertai dengan transparansi dan akuntabilitas publik. 

Pemerintah daerah bersama masyarakat sipil harus mendorong publikasi data terbuka terkait penanganan kasus, jumlah korban yang diselamatkan, dan hasil penindakan hukum. 

Dengan demikian, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menilai sejauh mana kebijakan anti perdagangan manusia benar-benar dijalankan.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved