Opini

Opini: Redefenisi Tanah Air dan Sumpah Pemuda

Kini memasuki tahun 2025, warisan ikrar ini menghadapi tantangan terbesar dan paling eksistensial, yaitu krisis iklim. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI INOSENSIUS E MOKOS
Inosensius Enryco Mokos 

Contoh konkretnya adalah Jakarta, yang selain mengalami penurunan permukaan tanah (subsidence) dengan laju rata-rata 1-15 cm per tahun, juga menghadapi kenaikan air laut. 

Walaupun Ibu Kota Negara (IKN) dipindahkan, ancaman terhadap infrastruktur dan kehidupan masyarakat di kota-kota pesisir lain tetap menjadi bom waktu. 

Mencintai "Air" Indonesia hari ini adalah berjuang memitigasi bencana pesisir.

Kedua, ancaman terhadap "Tanah" Indonesia, terutama dalam konteks deforestasi dan keanekaragaman hayati. 

Indonesia adalah rumah bagi sekitar 10-15 persen dari total spesies flora dan fauna di dunia. 

Hutan-hutan ini berfungsi sebagai paru-paru global dan penyerap karbon (carbon sink) yang vital. 

Sayangnya, laju deforestasi, meskipun menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, masih menjadi perhatian serius, terutama terkait dengan alih fungsi lahan untuk perkebunan monokultur dan pertambangan. 

Pelepasan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Land Use Change/FOLU) tetap menjadi kontributor signifikan terhadap total emisi nasional. 

Jika hutan terus menghilang, ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor akan meningkat drastis, yang secara efektif merusak " Tanah" yang telah disumpahkan.

Di NTT sendiri proses pembangunan bukan hanya menghancurkan “Tanah NTT” tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat dan makhluk hidup di dalamnya. 

Sebut saja proyek Geotermal yang sebenarnya tidak urgen untuk masyarakat NTT. 

Di lain sisi pencemaran lingkungan yang kian masif, permasalahan sampah yang semakin mengancam akhirnya mengharuskan kita untuk melihat kembali definisi tanah air yang fundamental.    

Redefinisi “Tanah Air” bukan lagi soal batas wilayah, melainkan tentang kualitas ruang hidup. 

Patriotisme 2025 menuntut Pemuda Indonesia untuk memimpin perlawanan terhadap eksploitasi yang merusak daya dukung lingkungan. 

Kegagalan untuk bertindak dalam konteks ini berarti mengkhianati janji 1928, karena tidak ada bangsa tanpa tanah dan air yang layak dihuni.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved