Opini

Opini: Generasi Paruh Waktu, Apakah Fleksibilitas Membentuk atau Merusak Human Capital NTT?

Aksi protes GMKI Kupang bersama Forum Guru R3 NTT, misalnya, secara terbuka menolak skema paruh waktu. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru 
Pendeta GMIT yang berkarya di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Beberapa bulan terakhir, ruang publik di Nusa Tenggara Timur (NTT) ramai membicarakan wacana PPPK Paruh Waktu. Pemerintah daerah menimbang skema ini sebagai jawaban atas keterbatasan anggaran. 

Rasionalitas fiskal di baliknya jelas: jika tak mampu menggaji penuh, lebih baik membagi jam kerja agar lebih banyak tenaga bisa direkrut. 

Seakan-akan logikanya sederhana: “daripada tidak ada kerja, setengah kerja pun jadi.”

Namun, di balik logika yang terdengar masuk akal itu, kita perlu melihat dampak jangka panjang. Media lokal, khususnya Pos Kupang, merekam keresahan. 

Baca juga: Cara Cek NIP PPPK Paruh Waktu 2025 di Mola BKN, Jadwal Pelantikan, Gaji dan Aturan Masa Kerjanya

Aksi protes GMKI Kupang bersama Forum Guru R3 NTT, misalnya, secara terbuka menolak skema paruh waktu. 

Mereka menyebutnya diskriminatif, karena menempatkan guru kontrak sebagai warga kelas dua di dalam tubuh birokrasi. 

Sementara itu, kisah seorang guru honorer di Sikka yang tengah hamil saat lulus seleksi PPPK menyoroti soal perlindungan sosial—apakah tenaga kontrak mendapat hak yang sama seperti ASN penuh?

Kedua potret ini mengingatkan kita: isu PPPK paruh waktu bukan sekadar teknis administrasi, tetapi menyangkut martabat pekerja dan arah pembangunan SDM di daerah. 

Jika tanah NTT sudah sering dilabeli “kering”, jangan sampai kontrak kerja yang ditawarkan pemerintah pun ikut kering (kering jaminan, kering kepastian, kering masa depan).

Data Realitas dan Isu di Lapangan

Mari kita lihat datanya. Pos Kupang melaporkan bahwa jumlah guru honorer di NTT mencapai ribuan, dengan lebih dari 7.000 di antaranya masih menunggu kejelasan status pada Agustus 2025. 

Banyak dari mereka telah puluhan tahun mengajar dengan gaji ratusan ribu rupiah per bulan - angka yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Pemerintah pusat memang membuka jalur PPPK untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer, tetapi jumlah formasi terbatas, jauh dari kebutuhan riil. 

Di sisi lain, pemerintah daerah mengaku tidak sanggup menanggung beban gaji penuh karena keterbatasan Dana Alokasi Umum (DAU). 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved