Opini
Opini: Generasi Paruh Waktu, Apakah Fleksibilitas Membentuk atau Merusak Human Capital NTT?
Aksi protes GMKI Kupang bersama Forum Guru R3 NTT, misalnya, secara terbuka menolak skema paruh waktu.
Status honorer yang dulu dimaksudkan darurat, bertahan puluhan tahun tanpa solusi. Tidak ada jaminan paruh waktu tidak akan mengalami nasib serupa.
Ketiga, ini mengikuti tren global fleksibilitas kerja. Ya, negara maju memang menerapkan kontrak fleksibel.
Tetapi jangan lupa: fleksibilitas di Eropa, misalnya, selalu diimbangi dengan sistem jaminan sosial yang kuat—dari asuransi kesehatan hingga tunjangan pengangguran.
Di NTT, kita bahkan masih berjuang agar pekerja kontrak diikutsertakan BPJS Kesehatan secara rutin.
Hasibuan (2016) mengingatkan, “Manajemen sumber daya manusia bertujuan meningkatkan kontribusi produktif tenaga kerja terhadap organisasi dengan cara yang etis, legal dan humanis.”
Maka, paruh waktu hanya bisa disebut solusi jika tetap menjunjung etika dan kemanusiaan, bukan sekadar pemangkasan beban APBD.
Di sinilah kritik sekaligus harapan bisa ditempatkan. Fleksibilitas sebenarnya tidak salah.
Ia bisa membuka ruang bagi ibu rumah tangga, mahasiswa, atau pekerja muda untuk menambah pengalaman kerja tanpa harus terikat penuh.
Namun fleksibilitas hanya positif bila diiringi regulasi yang melindungi hak dasar pekerja. Tanpa itu, fleksibilitas hanyalah nama lain dari ketidakpastian.
Jalan Serius yang Harus Ditempuh
Maka kemudian, pertanyaannya bukan sekadar setuju atau menolak paruh waktu TETAPI bagaimana memastikan kebijakan ini tidak menciptakan generasi setengah matang?
Pertama, data baseline menyeluruh. Pemerintah daerah bersama universitas dan LSM harus memetakan dengan akurat jumlah tenaga kontrak, kebutuhan riil di sektor pendidikan dan kesehatan, serta dampak ekonomi bila mereka hanya diberi status paruh waktu. Tanpa data, kebijakan ini hanya akan jadi jargon efisiensi.
Kedua, kontrak hybrid dengan hak minimum. Jika paruh waktu diterapkan, harus ada standar minimum yang dijamin: gaji layak sesuai kebutuhan hidup, BPJS kesehatan, hak cuti dan akses ke program pelatihan.
Kontrak ini bukan sekadar mengatur jam kerja, tapi harus melindungi martabat pekerja.
Ketiga, pelatihan inklusif. Pekerja paruh waktu tidak boleh dikecualikan dari program capacity building.
Justru mereka harus diprioritaskan, agar meski jam kerjanya terbatas, kualitas kinerjanya tetap meningkat.
Keempat, transparansi dan pengawasan publik. DPRD NTT, media lokal dan organisasi profesi seperti PGRI perlu memastikan implementasi kebijakan ini tidak merugikan pekerja.
Audit publik harus dilakukan secara berkala, termasuk mempublikasikan berapa banyak tenaga paruh waktu yang benar-benar mendapat jaminan dan pelatihan.
Kelima, framing pembangunan SDM yang positif. Jangan lihat pekerja paruh waktu sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari ekosistem pembangunan.
Bila mereka diberi jaminan dan ruang berkembang, paruh waktu bisa jadi jalur alternatif yang produktif: membuka lapangan kerja tanpa mengorbankan kualitas hidup.
Penutup
Fleksibilitas kerja adalah tren global yang tak bisa dihindari. Tetapi di NTT, fleksibilitas hanya akan bermakna jika diiringi perlindungan dan investasi pada pekerja.
Bila tidak, generasi paruh waktu yang lahir akan menjadi generasi precariat—setengah bekerja, setengah hidup dan setengah berdaya.
Pada akhirnya, PPPK paruh waktu bukan sekadar soal kontrak administratif melainkan kontrak sosial: apakah negara sungguh berinvestasi pada manusianya, atau hanya mencari angka efisiensi di atas kertas.
Generasi NTT berhak pada masa depan penuh, bukan setengah. Untuk itu kebijakan publik harus dikerjakan dengan hati penuh, bukan setengah hati. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
John Mozes Hendrik Wadu Neru
human capital
Opini Pos Kupang
gaji guru kontrak
Nusa Tenggara Timur
Pendeta GMIT
Sabu Raijua
Opini: Ageing Population, Keberhasilan atau Tantangan dalam Proses Pembangunan? |
![]() |
---|
Opini - Kasih, Martabat dan Paliatif: Perubahan Baru di Dunia Kesehatan NTT |
![]() |
---|
Opini: Saat Beras Jadi Ketergantungan, Pangan Lokal Bisa Jadi Solusi |
![]() |
---|
Opini: Bahaya Bibliosida |
![]() |
---|
Opini: NTT Darurat Literasi, Dari Seremoni ke Evidensi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.