Breaking News

Opini

Opini: Jalan Panjang NTT Menuju Masyarakat Pembelajar

Di tengah keterbatasan akses buku, listrik, dan internet, NTT masih mencari jalan panjang menuju masyarakat pembelajar sejati. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI RIKARDUS HERAK
Rikardus Herak 

Oleh: Dr. Rikardus Herak, S.Pd., M.Pd 
Akademisi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Setiap kali pagi merekah di tanah Timor, Sumba, Flores, dan Lembata, suara anak-anak berlarian di jalan setapak menuju sekolah seolah menjadi musik harapan bagi masa depan Nusa Tenggara Timur ( NTT). 

Namun di balik tawa mereka, tersimpan paradoks: provinsi dengan semangat tinggi untuk belajar ini masih berjuang menghadapi kenyataan pahit rendahnya budaya literasi

Di tengah keterbatasan akses buku, listrik, dan internet, NTT masih mencari jalan panjang menuju masyarakat pembelajar sejati. 

Harapan memang tumbuh di setiap langkah kecil, tetapi perjalanan ini masih dipenuhi jurang kesenjangan yang dalam antara keinginan belajar dan kemampuan untuk benar-benar mengakses pengetahuan.

Baca juga: Literasi Menyeruak di Rote Ndao, Relawan Gelar Aksi Baca di Ruang Publik

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan rata-rata lama sekolah masyarakat NTT baru mencapai 8,02 tahun, atau setara dengan kelas dua SMP. 

Angka itu memang meningkat dibandingkan 2019 (7,8 tahun), tetapi masih jauh di bawah rata-rata nasional 9,1 tahun. 

Artinya, banyak anak di NTT yang belum sempat menyelesaikan pendidikan menengah. 

Literasi menjadi masalah mendasar yang bukan hanya soal membaca teks, tetapi membaca dunia di sekitar mereka. 

Ketika pendidikan formal berhenti di tengah jalan, literasi menjadi alat bertahan hidup kemampuan memahami informasi, menafsirkan realitas, dan mengambil keputusan dalam hidup sehari-hari.

Lebih memprihatinkan lagi, hasil survei Indeks Aktivitas Literasi Membaca (IALM) tahun 2024 menempatkan NTT di peringkat ke-12 nasional, dengan skor 67,81 dari 100. 

Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin dari jarak antara sekolah formal dan budaya membaca di rumah. 

Ketika buku menjadi barang mewah dan perpustakaan lebih sering dikunci daripada dibuka, semangat belajar kerap mati pelan-pelan di pelosok. 

Ironisnya, anak-anak yang sebenarnya haus akan pengetahuan sering kali harus berjuang mencari bacaan sendiri, sementara arus digital yang masuk justru lebih banyak membawa hiburan ketimbang pencerahan.

Masalahnya tidak tunggal. Geografis NTT yang tersebar di lebih dari 500 pulau membuat distribusi buku, guru, dan fasilitas belajar menjadi tantangan logistik yang luar biasa. 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved