Opini

Opini: Kearifan Lokal Sebagai Arah Baru Pendidikan di NTT

Kearifan lokal bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga modal sosial yang bisa menjadi fondasi perubahan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI RIKARDUS HERAK
Rikardus Herak 

Jika diterapkan dengan baik, P5 bisa menjadi model pendidikan berbasis komunitas yang lebih berkelanjutan. Program ini juga menjadikan siswa subjek aktif, bukan sekadar penerima pengetahuan.

Keterlibatan masyarakat juga sangat menentukan. Pendidikan berbasis kearifan lokal tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Tokoh adat, orang tua, dan komunitas perlu terlibat aktif. Mereka adalah penjaga pengetahuan lokal yang bisa ditransfer langsung kepada generasi muda. 

Kolaborasi ini akan memperkuat ikatan sosial antara sekolah dan masyarakat. Sekolah menjadi ruang yang terbuka, bukan institusi yang terpisah dari kehidupan sehari-hari.

Pendidikan yang mengangkat kearifan lokal juga menumbuhkan rasa bangga. Selama ini, banyak anak muda NTT merasa rendah diri dibandingkan teman sebaya dari daerah lain. 

Padahal, mereka memiliki warisan budaya yang luar biasa. Jika sekolah mengajarkan nilai lokal secara serius, generasi muda akan tumbuh dengan identitas yang kuat dan percaya diri. 

Kebanggaan ini akan menjadi modal penting untuk membangun daya saing di era modern. Identitas yang kokoh menjadikan mereka tidak mudah terombang-ambing oleh budaya luar.

Tentu, pendidikan modern tetap penting. Matematika, sains, dan teknologi tidak boleh diabaikan. Namun, kearifan lokal bisa menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan ilmu-ilmu tersebut. 

Misalnya, konsep sains bisa dijelaskan melalui fenomena alam lokal. Dengan begitu, ilmu terasa lebih dekat dan tidak abstrak. Strategi ini membantu siswa menyadari bahwa ilmu modern dan pengetahuan lokal tidak bertentangan, melainkan bisa saling melengkapi.

Pendidikan berbasis kearifan lokal juga bisa mencegah erosi budaya. Modernisasi yang deras sering membuat generasi muda meninggalkan tradisi. 

Jika budaya lokal diajarkan di sekolah, mereka justru akan menjadi pelestari. Pendidikan menjadi benteng dari arus homogenisasi global sekaligus memperkuat keberagaman bangsa. 

Generasi yang tumbuh dalam kesadaran budaya akan lebih serbuka pada perbedaan. Dengan begitu, sekolah tidak hanya mencetak lulusan, tetapi juga penjaga identitas kolektif.

Selain itu, kearifan lokal menanamkan kemandirian. Banyak praktik tradisional mengajarkan pemanfaatan sumber daya alam sekitar. Nilai ini sangat relevan dalam menghadapi krisis lingkungan dan ekonomi. 

Siswa yang belajar dari tradisi lokal akan tumbuh lebih adaptif, kreatif, dan tangguh. Mereka tidak hanya siap menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta solusi di lingkungannya sendiri. 

Hal ini menjadikan pendidikan berperan sebagai penggerak kemandirian komunitas.

Dari sisi kebijakan, pemerintah daerah NTT perlu memberi dukungan nyata. Tidak cukup hanya wacana, harus ada regulasi, pendanaan, dan insentif bagi sekolah yang berhasil mengintegrasikan budaya lokal. 

Pendidikan tidak boleh dipandang semata-mata sebagai urusan akademik, melainkan juga sebagai upaya pemberdayaan komunitas. 

Regulasi ini juga harus memastikan agar sekolah memiliki keleluasaan mengembangkan kurikulum sesuai konteks lokal. Dengan kebijakan yang tepat, pendidikan berbasis kearifan lokal akan memiliki legitimasi kuat.

Di tengah berbagai keterbatasan, kearifan lokal sesungguhnya adalah kekuatan terbesar NTT. Pendidikan yang menggali nilai budaya akan melahirkan generasi yang bangga pada identitasnya. 

Mereka akan tumbuh sebagai manusia yang berakar pada tradisi, tetapi tetap siap menghadapi masa depan. Identitas lokal yang kuat justru akan memperkokoh daya saing global. 

Dengan demikian, NTT dapat keluar dari stigma ketertinggalan dan tampil sebagai pusat inovasi berbasis budaya.

Kesimpulannya, arah baru pendidikan di NTT seharusnya tidak hanya meniru pola dari luar.
 
Pendidikan sejati harus berangkat dari kearifan lokal yang dimiliki: gotong royong, bahasa ibu, cerita rakyat, pertanian tradisional, hingga seni tenun. 

Jika digarap serius, pendidikan berbasis budaya akan membuat NTT lebih relevan, bermakna, dan membanggakan. Modernisasi tanpa akar budaya hanya akan melahirkan generasi rapuh. 

Sebaliknya, modernisasi yang berpijak pada kearifan lokal akan menghasilkan manusia kreatif, adaptif, dan tetap berakar pada nilai luhur. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved