Opini

Opini: Kearifan Lokal Sebagai Arah Baru Pendidikan di NTT

Kearifan lokal bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga modal sosial yang bisa menjadi fondasi perubahan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI RIKARDUS HERAK
Rikardus Herak 

Justru dari keterbatasan itulah lahir inovasi yang lebih membumi dan sesuai konteks lokal.

Selain itu, tradisi tenun ikat dapat dijadikan dasar pendidikan vokasi. Tenun tidak hanya soal keterampilan tangan, tetapi juga sarat nilai ekonomi, seni, dan identitas budaya. 

Dengan memasukkan tenun dalam kurikulum, sekolah bisa mencetak lulusan yang berdaya secara budaya sekaligus berdaya secara ekonomi. 

Tenun juga dapat menjadi sarana pemberdayaan perempuan yang selama ini memegang peran penting dalam tradisi ini. Produk tenun yang diajarkan di sekolah bisa membuka akses pasar kreatif hingga mancanegara.

Praktik hukum adat juga bisa menjadi bahan ajar yang berharga. Di banyak komunitas, konflik sosial diselesaikan melalui musyawarah adat. Nilai demokrasi partisipatif ini dapat diintegrasikan dalam pelajaran PPKn. 

Anak-anak belajar bahwa hukum bukan sekadar aturan tertulis, tetapi juga kebijaksanaan yang lahir dari komunitas. 

Dengan demikian, pendidikan hukum terasa lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini akan menumbuhkan generasi yang memahami keadilan tidak hanya dari buku, tetapi juga dari praktik sosial nyata.

Mengintegrasikan kearifan lokal dalam pendidikan tidak berarti menolak globalisasi. Justru, kearifan lokal dapat menjadi modal untuk menghadapi dunia global. 

Siswa yang berakar pada budaya sendiri akan lebih percaya diri. Mereka tidak hanya meniru budaya luar, tetapi juga mampu membawa warna khas NTT ke panggung nasional maupun internasional. 

Pendidikan seperti ini melahirkan generasi global yang berjati diri. Dengan begitu, globalisasi tidak lagi menelan tradisi, melainkan memberi ruang untuk memperkuatnya.

Meski demikian, masih banyak tantangan. Guru sering kali belum siap mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam pembelajaran. Mereka lebih terbiasa mengandalkan buku teks nasional. 

Karena itu, pelatihan guru menjadi kunci penting. Guru perlu diberi ruang dan dukungan untuk menggali budaya lokal sebagai sumber belajar. 

Pemerintah dan lembaga pendidikan harus memastikan program pengembangan kapasitas guru berjalan konsisten. Tanpa hal ini, kearifan lokal hanya akan berhenti pada wacana.

Kurikulum Merdeka sebenarnya memberi peluang besar untuk menghidupkan kearifan lokal. Ada ruang Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang bisa diarahkan pada eksplorasi budaya. 

Di NTT, P5 dapat berupa kegiatan menenun, bertani, atau menjaga ekologi lokal. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik nyata yang dekat dengan kehidupan mereka. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved