Opini
Opini: Kearifan Lokal Sebagai Arah Baru Pendidikan di NTT
Kearifan lokal bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga modal sosial yang bisa menjadi fondasi perubahan.
Oleh: Dr. Rikardus Herak, S.Pd., M.Pd
Akademisi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga ketimpangan akses.
Namun, di balik semua keterbatasan itu, NTT memiliki kekayaan yang sering terabaikan: kearifan lokal.
Nilai budaya, tradisi, dan praktik kehidupan masyarakat dapat menjadi sumber inspirasi baru untuk membangun pendidikan yang lebih relevan.
Kearifan lokal bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga modal sosial yang bisa menjadi fondasi perubahan.
Jika digarap serius, ia mampu menjawab masalah pendidikan tanpa harus selalu bergantung pada model dari luar.
Baca juga: Opini: Luka Dunia Hari Ini dan Tips Penyembuhannya
Selama ini, pendidikan di NTT cenderung mengadopsi kurikulum nasional yang seragam. Akibatnya, banyak siswa merasa materi pelajaran jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kearifan lokal dapat menjembatani kesenjangan ini dengan menghadirkan pembelajaran yang kontekstual.
Cerita rakyat, sistem pertanian tradisional, atau praktik adat dapat dijadikan bahan ajar yang membumi.
Hal ini akan membuat siswa merasa dekat dengan materi, sekaligus menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas mereka. Dengan begitu, pendidikan menjadi lebih hidup karena berakar pada pengalaman nyata.
Bahasa daerah juga bagian penting dari kearifan lokal. Di banyak wilayah, siswa menggunakan bahasa ibu di rumah, tetapi di sekolah langsung dituntut menguasai bahasa Indonesia.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan linguistik yang menghambat pemahaman.
Dengan memasukkan bahasa ibu dalam pengajaran, anak-anak lebih mudah memahami konsep dasar sekaligus menjadikannya jembatan menuju bahasa nasional dan global.
Strategi ini sejalan dengan rekomendasi UNESCO tentang pentingnya pendidikan berbasis bahasa ibu.
Jika diabaikan, generasi muda berisiko kehilangan warisan bahasa sekaligus mengalami kesenjangan belajar.
Kearifan lokal juga sarat nilai sosial. Budaya gotong royong yang lekat dalam masyarakat NTT bisa dijadikan dasar pendidikan karakter.
Melalui praktik kebersamaan ini, siswa belajar solidaritas, empati, dan kerja sama.
Nilai-nilai ini sejalan dengan tuntutan abad ke-21 yang menekankan kolaborasi dan komunikasi.
Pendidikan karakter berbasis budaya akan terasa lebih otentik dibandingkan sekadar slogan moral di buku pelajaran.
Dengan begitu, generasi muda tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara sosial.
Sistem pertanian tradisional dapat menjadi laboratorium belajar yang berharga.
Anak-anak bisa mempelajari siklus tanam, pengelolaan air, hingga teknik adaptasi terhadap iklim kering.
Pembelajaran ini bukan hanya soal keterampilan praktis, tetapi juga pendidikan ekologi.
Dengan begitu, siswa disiapkan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim secara nyata.
Integrasi pertanian tradisional dalam kurikulum juga memperkuat kesadaran akan ketahanan pangan. Hal ini sangat penting di wilayah yang rentan terhadap bencana dan krisis lingkungan.
Cerita rakyat NTT penuh dengan pesan moral dan filosofi hidup. Kisah-kisah ini bisa digunakan sebagai media literasi di sekolah. Anak-anak tidak hanya belajar membaca, tetapi juga menyerap nilai tentang kejujuran, keberanian, dan kearifan hidup.
Dengan cara ini, sekolah juga berperan dalam melestarikan warisan budaya yang hampir hilang.
Lebih jauh, cerita rakyat bisa dijadikan sumber inspirasi untuk seni pertunjukan atau karya kreatif siswa. Dengan begitu, nilai literasi sekaligus kreativitas berkembang secara bersamaan.
Keterbatasan infrastruktur sering dianggap penghalang pendidikan di NTT. Padahal, dengan kreativitas, kearifan lokal bisa mengisi kekosongan itu. Kelas di bawah pohon misalnya, tetap bermakna jika guru memanfaatkan sumber daya sekitar.
Daun, batu, atau bambu dapat dijadikan alat peraga sederhana namun efektif. Pengalaman belajar ini juga membentuk daya tahan mental siswa dalam menghadapi keterbatasan.
Justru dari keterbatasan itulah lahir inovasi yang lebih membumi dan sesuai konteks lokal.
Selain itu, tradisi tenun ikat dapat dijadikan dasar pendidikan vokasi. Tenun tidak hanya soal keterampilan tangan, tetapi juga sarat nilai ekonomi, seni, dan identitas budaya.
Dengan memasukkan tenun dalam kurikulum, sekolah bisa mencetak lulusan yang berdaya secara budaya sekaligus berdaya secara ekonomi.
Tenun juga dapat menjadi sarana pemberdayaan perempuan yang selama ini memegang peran penting dalam tradisi ini. Produk tenun yang diajarkan di sekolah bisa membuka akses pasar kreatif hingga mancanegara.
Praktik hukum adat juga bisa menjadi bahan ajar yang berharga. Di banyak komunitas, konflik sosial diselesaikan melalui musyawarah adat. Nilai demokrasi partisipatif ini dapat diintegrasikan dalam pelajaran PPKn.
Anak-anak belajar bahwa hukum bukan sekadar aturan tertulis, tetapi juga kebijaksanaan yang lahir dari komunitas.
Dengan demikian, pendidikan hukum terasa lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini akan menumbuhkan generasi yang memahami keadilan tidak hanya dari buku, tetapi juga dari praktik sosial nyata.
Mengintegrasikan kearifan lokal dalam pendidikan tidak berarti menolak globalisasi. Justru, kearifan lokal dapat menjadi modal untuk menghadapi dunia global.
Siswa yang berakar pada budaya sendiri akan lebih percaya diri. Mereka tidak hanya meniru budaya luar, tetapi juga mampu membawa warna khas NTT ke panggung nasional maupun internasional.
Pendidikan seperti ini melahirkan generasi global yang berjati diri. Dengan begitu, globalisasi tidak lagi menelan tradisi, melainkan memberi ruang untuk memperkuatnya.
Meski demikian, masih banyak tantangan. Guru sering kali belum siap mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam pembelajaran. Mereka lebih terbiasa mengandalkan buku teks nasional.
Karena itu, pelatihan guru menjadi kunci penting. Guru perlu diberi ruang dan dukungan untuk menggali budaya lokal sebagai sumber belajar.
Pemerintah dan lembaga pendidikan harus memastikan program pengembangan kapasitas guru berjalan konsisten. Tanpa hal ini, kearifan lokal hanya akan berhenti pada wacana.
Kurikulum Merdeka sebenarnya memberi peluang besar untuk menghidupkan kearifan lokal. Ada ruang Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang bisa diarahkan pada eksplorasi budaya.
Di NTT, P5 dapat berupa kegiatan menenun, bertani, atau menjaga ekologi lokal. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik nyata yang dekat dengan kehidupan mereka.
Jika diterapkan dengan baik, P5 bisa menjadi model pendidikan berbasis komunitas yang lebih berkelanjutan. Program ini juga menjadikan siswa subjek aktif, bukan sekadar penerima pengetahuan.
Keterlibatan masyarakat juga sangat menentukan. Pendidikan berbasis kearifan lokal tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Tokoh adat, orang tua, dan komunitas perlu terlibat aktif. Mereka adalah penjaga pengetahuan lokal yang bisa ditransfer langsung kepada generasi muda.
Kolaborasi ini akan memperkuat ikatan sosial antara sekolah dan masyarakat. Sekolah menjadi ruang yang terbuka, bukan institusi yang terpisah dari kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang mengangkat kearifan lokal juga menumbuhkan rasa bangga. Selama ini, banyak anak muda NTT merasa rendah diri dibandingkan teman sebaya dari daerah lain.
Padahal, mereka memiliki warisan budaya yang luar biasa. Jika sekolah mengajarkan nilai lokal secara serius, generasi muda akan tumbuh dengan identitas yang kuat dan percaya diri.
Kebanggaan ini akan menjadi modal penting untuk membangun daya saing di era modern. Identitas yang kokoh menjadikan mereka tidak mudah terombang-ambing oleh budaya luar.
Tentu, pendidikan modern tetap penting. Matematika, sains, dan teknologi tidak boleh diabaikan. Namun, kearifan lokal bisa menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan ilmu-ilmu tersebut.
Misalnya, konsep sains bisa dijelaskan melalui fenomena alam lokal. Dengan begitu, ilmu terasa lebih dekat dan tidak abstrak. Strategi ini membantu siswa menyadari bahwa ilmu modern dan pengetahuan lokal tidak bertentangan, melainkan bisa saling melengkapi.
Pendidikan berbasis kearifan lokal juga bisa mencegah erosi budaya. Modernisasi yang deras sering membuat generasi muda meninggalkan tradisi.
Jika budaya lokal diajarkan di sekolah, mereka justru akan menjadi pelestari. Pendidikan menjadi benteng dari arus homogenisasi global sekaligus memperkuat keberagaman bangsa.
Generasi yang tumbuh dalam kesadaran budaya akan lebih serbuka pada perbedaan. Dengan begitu, sekolah tidak hanya mencetak lulusan, tetapi juga penjaga identitas kolektif.
Selain itu, kearifan lokal menanamkan kemandirian. Banyak praktik tradisional mengajarkan pemanfaatan sumber daya alam sekitar. Nilai ini sangat relevan dalam menghadapi krisis lingkungan dan ekonomi.
Siswa yang belajar dari tradisi lokal akan tumbuh lebih adaptif, kreatif, dan tangguh. Mereka tidak hanya siap menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta solusi di lingkungannya sendiri.
Hal ini menjadikan pendidikan berperan sebagai penggerak kemandirian komunitas.
Dari sisi kebijakan, pemerintah daerah NTT perlu memberi dukungan nyata. Tidak cukup hanya wacana, harus ada regulasi, pendanaan, dan insentif bagi sekolah yang berhasil mengintegrasikan budaya lokal.
Pendidikan tidak boleh dipandang semata-mata sebagai urusan akademik, melainkan juga sebagai upaya pemberdayaan komunitas.
Regulasi ini juga harus memastikan agar sekolah memiliki keleluasaan mengembangkan kurikulum sesuai konteks lokal. Dengan kebijakan yang tepat, pendidikan berbasis kearifan lokal akan memiliki legitimasi kuat.
Di tengah berbagai keterbatasan, kearifan lokal sesungguhnya adalah kekuatan terbesar NTT. Pendidikan yang menggali nilai budaya akan melahirkan generasi yang bangga pada identitasnya.
Mereka akan tumbuh sebagai manusia yang berakar pada tradisi, tetapi tetap siap menghadapi masa depan. Identitas lokal yang kuat justru akan memperkokoh daya saing global.
Dengan demikian, NTT dapat keluar dari stigma ketertinggalan dan tampil sebagai pusat inovasi berbasis budaya.
Kesimpulannya, arah baru pendidikan di NTT seharusnya tidak hanya meniru pola dari luar.
Pendidikan sejati harus berangkat dari kearifan lokal yang dimiliki: gotong royong, bahasa ibu, cerita rakyat, pertanian tradisional, hingga seni tenun.
Jika digarap serius, pendidikan berbasis budaya akan membuat NTT lebih relevan, bermakna, dan membanggakan. Modernisasi tanpa akar budaya hanya akan melahirkan generasi rapuh.
Sebaliknya, modernisasi yang berpijak pada kearifan lokal akan menghasilkan manusia kreatif, adaptif, dan tetap berakar pada nilai luhur. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.