Opini
Opini: Bahaya Favoritisme dalam Pendidikan Keluarga
Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami kesulitan menghadapi kegagalan karena terbiasa mendapat perlakuan istimewa.
Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen PGSD FKIP Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Fenomena favoritisme atau praktik memperlakukan salah satu anak sebagai “ anak kebanggaan” bukanlah hal baru dalam dinamika keluarga.
Dalam banyak kasus, perilaku ini sering disamarkan sebagai bentuk kasih sayang, pengakuan atas kelebihan, atau upaya mendorong prestasi anak.
Namun, di balik kesan positif tersebut, favoritisme menyimpan konsekuensi serius yang berdampak luas pada perkembangan psikologis, sosial, dan akademik seluruh anak dalam keluarga.
Secara teoretis, favoritisme dapat dijelaskan melalui perspektif differential parenting, yakni perlakuan berbeda orang tua terhadap anak berdasarkan persepsi, harapan, atau karakter anak (Kowal & Kramer, 1997).
Baca juga: Opini: Urgensitas Digital Parenting Bagi Generasi Alfa
Ketika praktik ini berlangsung tanpa kesadaran kritis, anak-anak mulai menafsirkan ketidakadilan dalam perlakuan, yang memengaruhi pembentukan konsep diri, relasi saudara, hingga kepercayaan diri di lingkungan sosial yang lebih luas.
Penelitian psikologi perkembangan mengonfirmasi dampak jangka panjang favoritisme.
Schreier (2020) menunjukkan bahwa favoritisme tidak hanya menimbulkan tekanan psikologis pada anak yang diunggulkan, tetapi juga memicu rasa terabaikan, cemburu, bahkan perasaan inferior pada anak lain.
Suitor dan Pillemer (2013) menambahkan bahwa luka emosional akibat perlakuan tidak adil ini tidak berhenti pada masa kanak-kanak, tetapi dapat terbawa hingga dewasa, memengaruhi kesehatan mental, kualitas hubungan interpersonal, bahkan kinerja akademik dan profesional.
Dengan demikian, memahami favoritisme bukan sekadar mengkritisi perilaku pengasuhan, tetapi juga membuka ruang refleksi mengenai bagaimana dinamika ini membentuk identitas, kepribadian, dan masa depan anak-anak.
Konsep Favoritisme dalam Keluarga
Favoritisme dalam keluarga didefinisikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan orang tua kepada anak, baik secara positif (memberikan perhatian berlebih, hadiah, atau pujian) maupun negatif (kurangnya perhatian dan dukungan terhadap anak lainnya).
Menurut Teori Keadilan Keluarga ( Family Equity Theory), anak secara naluriah mengharapkan perlakuan yang adil dan setara dari orang tua.
Ketika kesetaraan ini tidak terpenuhi, muncul konflik batin yang memengaruhi perkembangan kepribadian anak (Kowal & Kramer, 1997).
Sering kali, perilaku ini dipicu oleh adaptasi gaya pengasuhan terhadap kepribadian anak, tapi ketika dilakukan secara intens, dampaknya bisa merugikan kedua belah pihak: anak yang “difavoritkan” mungkin mengalami rendah diri, depresi, atau kecemasan; sementara anak yang “difavoritkan” bisa mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal dan regulasi emosi
Dampak Favoritisme terhadap Perkembangan Anak
1. Dampak Psikologis
Bagi anak favorit: Anak yang terlalu dimanjakan cenderung mengembangkan kepribadian narsistik, kurang empati, dan ketergantungan tinggi terhadap validasi eksternal (Sherman, 2019).
Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami kesulitan menghadapi kegagalan karena terbiasa mendapat perlakuan istimewa.
Bagi anak non-favorit: Anak yang merasa diabaikan rentan mengalami harga diri rendah, kecemasan, depresi, dan masalah kepercayaan diri.
Studi longitudinal oleh Volling et al. (2014) menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak adil meningkatkan risiko masalah perilaku dan akademik.
2. Dampak Sosial
Favoritisme menciptakan ketegangan antar-saudara (sibling rivalry) yang dapat bertahan hingga dewasa.
Anak favorit cenderung dilabeli “ anak emas” oleh saudara kandungnya, sedangkan anak non-favorit bisa tumbuh dengan rasa iri, marah, atau menjauh dari interaksi keluarga.
3. Dampak Akademik dan Karier
Anak yang mendapat label “ anak kebanggaan” sering ditekan untuk selalu berprestasi, sehingga berpotensi mengalami burnout akademik atau pekerjaan.
Sebaliknya, anak non-favorit mungkin kehilangan motivasi belajar karena merasa kemampuannya tidak pernah dihargai.
Dalam jangka panjang, ini dapat memengaruhi pilihan karier, produktivitas, dan kesehatan mental mereka.
Perspektif Pendidikan dan Teologis
Dalam perspektif pendidikan, favoritisme bertentangan dengan prinsip pendidikan holistik, yaitu mengembangkan potensi seluruh anak secara adil.
Guru, konselor, dan orang tua seharusnya melihat setiap anak sebagai individu unik dengan kekuatan masing-masing, bukan membandingkan satu sama lain.
Dari perspektif teologis, praktik favoritisme tidak hanya dipandang sebagai ketidakadilan sosial, tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip kasih yang diajarkan dalam Kitab Suci.
Alkitab memberikan banyak narasi yang mengilustrasikan dampak destruktif favoritisme.
Salah satu contoh paling jelas terdapat dalam kisah Yakub dan Yusuf (Kejadian 37), di mana kasih istimewa Yakub terhadap Yusuf memicu kecemburuan mendalam di antara saudara-saudaranya.
Kecemburuan itu kemudian berkembang menjadi konflik serius, yang berujung pada pengkhianatan, penderitaan, bahkan hampir berujung pada kematian Yusuf (dibuang ke dalam sumur).
Kisah ini mengajarkan bahwa favoritisme bukan sekadar persoalan emosi sesaat, tetapi dapat menanamkan benih perpecahan dan permusuhan dalam keluarga.
Dalam konteks teologis, perilaku ini bertentangan dengan prinsip kasih yang setara (unconditional love) yang diajarkan Allah kepada manusia.
Firman Tuhan mengingatkan bahwa kasih sejati “tidak membeda-bedakan” (Yakobus 2:1-4), dan setiap anak dipandang sama berharganya di mata Tuhan (Mazmur 139:13-16).
Lebih jauh, favoritisme juga bertentangan dengan konsep perwalian ilahi dalam keluarga.
Orang tua dipercayakan untuk mendidik dan mengasuh anak-anak sebagai warisan Allah (Mazmur 127:3).
Dengan demikian, mengutamakan satu anak di atas yang lain berarti mengabaikan tanggung jawab spiritual untuk mengasihi dan membimbing setiap anak sesuai rencana dan potensi unik yang diberikan Tuhan.
Prinsip kasih yang setara menjadi kunci membangun harmoni keluarga yang kokoh.
Ketika kasih dan perhatian dibagikan secara adil, anak-anak akan bertumbuh dengan rasa aman, harga diri yang sehat, serta kemampuan menjalin relasi yang penuh empati.
Sebaliknya, praktik favoritisme merusak tatanan kasih yang ilahi, menciptakan ketidakseimbangan emosional yang berpotensi menular hingga generasi berikutnya.
Strategi Menghindari Favoritisme
Untuk meminimalkan dampak negatif favoritisme, orang tua perlu mengadopsi pendekatan yang lebih adil dan sadar:
1. Kesadaran Diri Orang Tua
Mengidentifikasi kecenderungan untuk lebih condong ke salah satu anak dan menyadari bahaya jangka panjangnya.
2. Menghargai Keunikan Anak
Memahami bahwa setiap anak memiliki bakat, minat, dan kecepatan belajar yang berbeda, dan semuanya patut diapresiasi.
3. Komunikasi Terbuka
Membuka ruang diskusi yang sehat dengan anak untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan harapan mereka.
4. Konsistensi dalam Disiplin dan Penghargaan
Menetapkan aturan dan konsekuensi yang sama untuk semua anak, sehingga tercipta rasa keadilan di dalam keluarga.
5. Kolaborasi dengan Lingkungan Pendidikan
Guru dan konselor dapat membantu mendeteksi tanda-tanda favoritisme di rumah dan memberikan pendampingan profesional.
Kesimpulan
Favoritisme dalam keluarga bukan sekadar isu relasional, tetapi masalah serius yang berdampak multidimensi pada psikologi, sosial, dan masa depan anak.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama seharusnya menjadi ruang yang aman, adil, dan penuh kasih, bukan tempat yang menciptakan luka emosional.
Dengan kesadaran, pendidikan yang adil, dan pendekatan berbasis kasih, setiap anak dapat tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan memiliki peluang yang sama untuk mencapai potensi terbaiknya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.