Opini

Opini: Byung-Chul Han, Hiperaktivitas Mendaruratkan Kemanusiaan

Keadaan tidak aktif mengandaikan keheningan. Ia dihasilkan oleh keheningan di mana manusia yang autentik diinkubasi. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Melki Deni, S. Fil 

Memang, pasar pada hakikatnya adalah produktif dan lahan subur dari kegandrungan konsumsi. Ia tak pernah berhenti. 

Dari perspektif ini, “subjek kinerja” saat ini merupakan titik tertinggi dominasi sistem ekonomi yang didasarkan pada produksi dan kinerja pribadi tanpa akhir.

Dalam kerangka ini kondisi pasif seperti kontemplasi, ketenangan, dan keheningan pada dasarnya merupakan contoh pemberontakan terhadap dominasi neoliberal. 

Oleh karena itu pengembalian fundamental ke kondisi bahagia ini diperlukan. 

Sebuah pengembalian yang mengarah dari “ketercekikan” kinerja yang menyempit menuju “ruang bebas” kontemplasi yang membebaskan dan membersihkan keberadaan dari keharusan produktivitas dan kinerja.

Subjek kinerja dan produksi yang konstan merepresentasikan ternak rezim neoliberal. 

Melalui ini, dominasi neoliberal atas eksistensi terwujud. Rezim ini secara ketat mengupayakan penghapusan progresif ruang-ruang yang memungkinkan meditasi dan memberikan “udara” atau “eter” bagi keberadaan. 

Penghancuran ini seringkali senyap dan luput dari perhatian dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal ini terwujud sebagai godaan hiburan massal dan karakteristik scrolling digital di media sosial.

Dapat dilihat seperti ini, waktu kerja atau produksi, yang diikuti sesi menonton TikTok, Instagram, dan Facebook yang sangat panjang, mengganggu “kapasitas kontemplatif” yang memicu konsentrasi total. 

Oleh karena itu, atas nama hiperaktivitas yang meluas dan intoleransi terhadap penundaan dan meditasi, pandemi global berikutnya akan menjadi “tatanan saraf”.

Awalnya, pandemi ini memengaruhi persepsi yang berkepanjangan dan penuh perhatian sebagai kapasitas kontemplatif. Gejala utamanya muncul dalam bentuk ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). 

Atas nama hiperaktivitas neoliberal, kita telah menjadi subjek yang komorbid dan tidak sabar, tidak mampu mendalami praktik kontemplatif seperti memperhatikan, membaca, menulis, mendengarkan orang lain atau berkonsentrasi penuh pada sesuatu.

Ketidakpedulian terhadap pengetahuan merupakan tanda hiperaktivitas yang paling berbahaya dan menyedihkan, dan pada gilirannya, merupakan gejala terakhir dari kematian jiwa. 

Ketidakmampuan untuk berlama-lama pada hal-hal ditegaskan sebagai pandemi radikal dan permanen yang meluas tanpa perlawanan atau batas, dan mengingat sifatnya yang bersifat spiritual, niscaya tidak akan memusnahkan tubuh sebagai organisme biologis, tetapi akan menyempurnakan kematian manusia. 

Kematian jiwa yang radikal dan kedaruratan cara kerja tubuh ini, yang saat ini disajikan sebagai kondisi yang tak terelakkan, menegaskan ketundukan total eksistensi kepada rezim neoliberal.

Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka “lingkungan” budaya kita sama sekali tidak memiliki tanpa ketidakaktifan atau kemungkinan kontemplasi, ia diselimuti oleh kebisingan intens dan keributan brutal yang dengan lancang menghancurakan keheningan jiwa. 

Kebisingan ini adalah kebisingan produksi dan aktivitas, dan keributan jiwa yang anti keheningan dan ketenangan. 

Dorongan untuk memproduksi terus-menerus dan rezim neoliberal berjalan beriringan. 

Bisa juga dikatakan: Kerja produksi adalah alat kontrol dan kuasa neoliberalisme.

Kesimpulannya, tidaklah mengherankan bagi kita untuk menunjuk temporalitas neoliberal, yang mengarahkan segala sesuatu pada ketergesa-gesaan, kesibukan, dan percepatan, sebagai penyebab langsung kematian pikiran dan darurat peri kemanusiaan.

Kebisingan produksi dan kinerja pribadi menggantikan keheningan ketidakaktifan dan pikiran. 

Demikian pula, keheningan yang tidak aktif segera digantikan oleh kegelisahan absolut (hiperaktivitas) dan kecemasan intens.

Kedaruratan jiwa dan kemanusiaan terjadi melalui ambisi dan kompulsi subjek neoliberal atas kinerja, produksi, dan pemenuhan pribadi, yang kini diasumsikan sebagai kredo neoliberal. 

Neoliberalisme selalu anti-kontemplasi, anti kegiatan-kegiatan rohani, dan berupaya untuk melawan komponen spiritual kemanusiaan. 

Kontemplasi tidak akan mulai dilakukan kalau tingkat maniak terhadap produksi dan konsumsi masih atau justru makin tinggi tiap hari. Untuk bisa melakukan kontemplasi, kurangilah konsumsi dan jedalah produksi! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved