Opini

Opini: Bencana Imitasi di Era Salinan 

Di zaman banjirnya informasi, segala sesuatu diterima secara refleks (spontan) tanpa melalui refleksi (penyaringan). 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI AGUSTINUS SASMITA
Agustinus S. Sasmita 

Ketika agama hadir, seseorang yang mengalami persoalan mencari pemuka agama untuk mendapat pencerahan. 

Selanjutnya, saat ilmu pengetahuan mulai berkembang, para psikiater atau bahkan obat penenang dijadikan pilihan alternatif untuk memecahkan problematika hidup. 

Sebaliknya, di era digital, sosok ahli supranatural, pemuka agama, maupun psikiater mulai kehilangan kepercayaan. Kehadiran teknologi mengambil alih peran tersebut. 

Setiap orang yang mengalami persoalan akan terbaca oleh algoritma, sehingga ia mampu menawarkan solusi yang lebih adaptif dan sesuai kebutuhan para pasien.

Di satu sisi, kepesatan pertumbuhan ilmu pengetahuan membawa banyak dampak positif. Di sisi lain, terdapat rentetan masalah yang terjadi. 

Teknologi memungkinkan seseorang memiliki wawasan yang luas sekaligus membangun relasi dengan orang di belahan dunia lain. 

Namun, pada saat yang sama, manusia mengalami krisis koneksi intersubjektif.  Relasi yang dibangun dalam dunia maya tentu jauh berbeda dengan dunia nyata. 

Koneksi intersubjektif secara efektif tercipta manakala sebuah relasi terbangun dalam dunia nyata. 

Dominasi relasi dunia maya melahirkan situasi baru yang berujung pada minimnya kontrol sosial dan terjadi krisis empati.

Rekomendasi etis yang relavan diucapkan ialah pentingnya observasi yang akurat dalam mengidentifikasi segala hal di dunia maya. 

Bersamaan dengan itu, perlu adanya kesadaran primordial atas sisipan nilai komersial dari setiap hal yang dipublikasikan di media sosial. 

Minat penasaran pada sesuatu yang populer harus diimbangi dengan pertimbangan etis dan objektif. 

Setiap orang yang memilih menduplikasi budaya tertentu barangkali relevan dengan zaman, namun kehilangan panutan. 

Tren selalu bersifat sementara karena akan dieliminasi oleh pesaing lainnya. 

Oleh karena itu, ketika tren dijadikan pedoman, maka para penirunya menjadi boneka mainan kaum kapitalis.

Selanjutnya, pemetaan kebutuhan yang lebih mendalam dan realistis. Kebingungan akan apa yang menjadi kebutuhan mendasar di era sekarang merupakan hal biasa. 

Kenyataan ini diafirmasi oleh munculnya istilah doom spanding yang dilatarbelakangi oleh perasaan cemas, stres, keputusasaan, dan ketidakpastian harapan akan masa depan. 

Selain itu, realisasi atas konsep carpe diem secara negatif terjadi melalui memanfaatkan atau menikmati masa sekarang tanpa pertimbangan jangka panjang. 

Pemetaan atas apa yang menjadi kebutuhan mendasar merupakan langkah progresif untuk meminimalisir budaya tiruan.

Pada akhirnya, perlu disadari bahwa semua objek atau peristiwa merupakan sintom yang harus ditafsir. 

Metode manafsir diandaikan seseorang memiliki pengetahuan dasar sebagai referensi dalam menemukan makna dari setiap fenomena. 

Nilai luhur yang diajarkan dalam lingkungan keluarga atau budaya tempat kita hidup dikomparasi dengan sesuatu yang baru dari luar. 

Hal ini, selain sebagai solusi agar tidak menjadi dogmatis, juga berperan sebagai benteng untuk tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing. 

Setiap kisah sejarah selalu mengandung makna yang dijadikan bahan pembelajaran sekaligus aset untuk diwariskan ke generasi selanjutnya. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved