Opini
Opini: Bencana Imitasi di Era Salinan
Di zaman banjirnya informasi, segala sesuatu diterima secara refleks (spontan) tanpa melalui refleksi (penyaringan).
Oleh: Agustinus S. Sasmita
Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - “Jika anda mengalami sesuatu, rekamlah. Jika anda merekam sesuatu, unggahlah. Jika anda mengunggah sesuatu, bagikanlah”, demikian motto masrayakat digital.
Praktik ini dilatarbelakangi oleh hasrat untuk memperolah validasi eksternal.
Mengamat dan meniru tren populer merupakan selera baru para pemburu like dan comment.
Viral bermotif narsis dan rela menjadi kontradiktif demi mengejar viewers.
Era mengikut dan diikuti atau budaya copy-paste adalah hal lumrah. Kenyataan ini menjadikan seseorang asing dengan dirinya sendiri.
Di zaman banjirnya informasi, segala sesuatu diterima secara refleks (spontan) tanpa melalui refleksi (penyaringan).
Aksi ini memberi reaksi yang tanpa sadar melahirkan hal-hal negatif bagi sebuah peradaban.
Menginginkan sesuatu yang bukan bagian dari kebutuhan menjadi hasrat yang mendominasi.
Cara mendapatkan semua keinginan itu relatif instan. Setiap orang yang memperjuangkannya cukup menjadi pragmatik dan bermodalkan nekat.
Selain itu, pelaku dapat menanggalkan nilai luhur yang dianutnya dan beralih kepada bentuk penalaran yang berbasis pada logika viral.
Kolaborasi antara yang etis dan pragmatis serta luhur dan profan, melemahkan prinsip dan nilai untuk dijadikan panutan.
Seseorang yang akrab dengan sosial media menciptakan konsturksi nilainya sendiri.
Fenomena ini relevan dengan konsep idola atau berbagai unsur yang dipuja-puji layaknya berhala seperti disampaikan Francis Bacon di masa lampau.
Konsep ini cenderung diartikan sebagai bentuk rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana terlihat dalam kemandekan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya.
Baginya, berhala tersebut menghalangi seseorang untuk melihat dengan jernih sebuah objek atau kenyataan.
Bacon merangkai empat jenis idola. Pertama, berhala massa atau yang disebut dengan idola bangsa (Idola Tribus).
Jenis berhala ini bertitik tolak dari kenyataan yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia.
Berbagai prasangka yang dihasilkan dari pesona yang disodorkan pancaindera diterima dengan sukarela, meski itu cenderung menipu.
Pada titik ini, seseorang mendasarkan penilaiannya pada perasaan dan menafsirkan setiap persepsi pada ide-ide subjektif.
Ringkasnya, idola ini merupakan suatu bentuk penilaian yang terjadi secara spontan, seperti cermin memantulkan gambar dengan apa adanya.
Kedua, prasangka inidividual atau idola gua (idola specus). Berhala ini timbul dari kenyataan paradigma berpikir manusia yang terbentuk dari latarbelakangnya.
Konstruksi ini membelenggu seseorang, sehingga menganggap nilai yang dianutnya adalah benar dan bahkan memaksakan pihak lain untuk menerimanya.
Artinya, segala bentuk pengalaman maupun minat pribadi menjadi basis utama dalam melihat dunia. Akibatnya, dunia objektif menjadi kabur.
Ketiga, berhala pasar (idola fora). Berhala ini merupakan gejala bahasa yang cenderung menipu.
Terdapat dua hal dasar mengapa hal ini dapat terjadi, pertama, bahasa mengandung unsur ekuivalen atau memiliki makna ganda, sehingga bahasa dapat disalahartikan.
Kedua, bahasa yang disampaikan secara persuasif membuat para pendengarnya menjadi mudah terpengaruh.
Lebih dari itu, poin utama dalam idola ini ialah bentuk penerimaan terhadap kata-kata atau pendapat pihak lain tanpa melalui penilaian atau verifikasi kritis terlebih dahulu.
Keempat, berhala teater (idola theatra). Idola ini dinilai sebagai yang paling berbahaya namun sangat familiar.
Setiap bentuk pemikiran mengkleim berkontribusi dalam membantu manusia memahami diri dan dunianya.
Seperti halnya drama, suatu pemikiran diterima sebagai dogma untuk diyakini, namun pada dasarnya hal tersebut hanya sebatas rekayasa kenyataan yang jauh dari realitas objek sebenarnya.
Di era sekarang, bencana kemanusiaan menempati kelas paling tinggi.
Ada berbagai varian penyebab terjadinya bencana tersebut, baik yang bersifat alami maupun sebagai akibat lanjut dari perbuatan manusia.
Salah satu masalah yang kini banyak menimpa umat manusia ialah reduksi otonomi kemanusiaan.
Aktor yang berperan aktif dalam kemanjuan ialah manusia, namun di sisi lain, manusia menjadi makhluk asing dalam kemajuan itu sendiri. Manusia era digital sangat kental dengan predikat konsumerisme.
Fakta ini bukan terbatas pada rasa haus akan hal-hal material, malainkan masalah psikis, seperti hasrat untuk memperoleh pujian dan pengakuan pihak eksternal.
Kebenaran atau keyakinan palsu dianut hampir oleh semua masyarakat masa kini.
Unsur kepalusan itu berdasarkan pada peleburan nilai, budaya, gaya hidup, cara pandang, serta cara memaknai hidup.
Jenis keyakinan palsu ini mula-mula dari penerimaan secara fatalistik setiap informasi atau tren yang populer di sosial media.
Setiap orang yang mengikuti tren tertentu cenderung dimotivasi oleh keinginan untuk dipuji atau sekadar berdasarkan kecemasan akan tertinggal atau dinilai konservatif.
Akibatnya, memilih mempertimbangkan asas manfaat atau pertimbangan untung-rugi dari mengikuti tren tertentu bukan termasuk opsi fundamental.
Dari tren atau informasi palsu, timbul kepercayaan baru yang dijadikan basis nilai untuk dihayati.
Kepalsuan itu menjadi berantai seperti lingkaran setan yang selalu membuka peluang bagi setiap orang yang terperangkap ke dalamnya.
Ditinjau dari kronik sejarah, kenyataan ini dapat disebut sebagai settingan baru atas umat manusia.
Di masa lampau, ketika manusia mengalami masalah atau kebimbangan dalam hidupnya, ia memilih dukun (ahli supranatural) yang mampu menawarkan solusi.
Ketika agama hadir, seseorang yang mengalami persoalan mencari pemuka agama untuk mendapat pencerahan.
Selanjutnya, saat ilmu pengetahuan mulai berkembang, para psikiater atau bahkan obat penenang dijadikan pilihan alternatif untuk memecahkan problematika hidup.
Sebaliknya, di era digital, sosok ahli supranatural, pemuka agama, maupun psikiater mulai kehilangan kepercayaan. Kehadiran teknologi mengambil alih peran tersebut.
Setiap orang yang mengalami persoalan akan terbaca oleh algoritma, sehingga ia mampu menawarkan solusi yang lebih adaptif dan sesuai kebutuhan para pasien.
Di satu sisi, kepesatan pertumbuhan ilmu pengetahuan membawa banyak dampak positif. Di sisi lain, terdapat rentetan masalah yang terjadi.
Teknologi memungkinkan seseorang memiliki wawasan yang luas sekaligus membangun relasi dengan orang di belahan dunia lain.
Namun, pada saat yang sama, manusia mengalami krisis koneksi intersubjektif. Relasi yang dibangun dalam dunia maya tentu jauh berbeda dengan dunia nyata.
Koneksi intersubjektif secara efektif tercipta manakala sebuah relasi terbangun dalam dunia nyata.
Dominasi relasi dunia maya melahirkan situasi baru yang berujung pada minimnya kontrol sosial dan terjadi krisis empati.
Rekomendasi etis yang relavan diucapkan ialah pentingnya observasi yang akurat dalam mengidentifikasi segala hal di dunia maya.
Bersamaan dengan itu, perlu adanya kesadaran primordial atas sisipan nilai komersial dari setiap hal yang dipublikasikan di media sosial.
Minat penasaran pada sesuatu yang populer harus diimbangi dengan pertimbangan etis dan objektif.
Setiap orang yang memilih menduplikasi budaya tertentu barangkali relevan dengan zaman, namun kehilangan panutan.
Tren selalu bersifat sementara karena akan dieliminasi oleh pesaing lainnya.
Oleh karena itu, ketika tren dijadikan pedoman, maka para penirunya menjadi boneka mainan kaum kapitalis.
Selanjutnya, pemetaan kebutuhan yang lebih mendalam dan realistis. Kebingungan akan apa yang menjadi kebutuhan mendasar di era sekarang merupakan hal biasa.
Kenyataan ini diafirmasi oleh munculnya istilah doom spanding yang dilatarbelakangi oleh perasaan cemas, stres, keputusasaan, dan ketidakpastian harapan akan masa depan.
Selain itu, realisasi atas konsep carpe diem secara negatif terjadi melalui memanfaatkan atau menikmati masa sekarang tanpa pertimbangan jangka panjang.
Pemetaan atas apa yang menjadi kebutuhan mendasar merupakan langkah progresif untuk meminimalisir budaya tiruan.
Pada akhirnya, perlu disadari bahwa semua objek atau peristiwa merupakan sintom yang harus ditafsir.
Metode manafsir diandaikan seseorang memiliki pengetahuan dasar sebagai referensi dalam menemukan makna dari setiap fenomena.
Nilai luhur yang diajarkan dalam lingkungan keluarga atau budaya tempat kita hidup dikomparasi dengan sesuatu yang baru dari luar.
Hal ini, selain sebagai solusi agar tidak menjadi dogmatis, juga berperan sebagai benteng untuk tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing.
Setiap kisah sejarah selalu mengandung makna yang dijadikan bahan pembelajaran sekaligus aset untuk diwariskan ke generasi selanjutnya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.