Opini

Opini: Ketika Pengumuman Bupati Membatalkan Nasib dan Menabrak Tembok Hukum

Ia harus tunduk pada serangkaian aturan main yang ketat, yang dirancang untuk melindungi warga negara. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PADMA INDONESIA
Greg Retas Daeng, S.H 

Dengan terpenuhinya semua unsur tersebut, maka pengumuman ini secara hukum adalah sebuah KTUN. Status ini penting, karena ia tidak bisa dikeluarkan secara sembarangan. 

Ia harus tunduk pada serangkaian aturan main yang ketat, yang dirancang untuk melindungi warga negara. 

Pakar hukum administrasi terkemuka, Philipus M. Hadjon, dalam opus magnum-nya "Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia", berulang kali menekankan bahwa hukum administrasi hadir bukan untuk melayani kekuasaan, melainkan untuk menjadi perisai bagi rakyat dari potensi kesewenang-wenangan pemerintah. Kasus Nagekeo adalah ujian nyata bagi prinsip luhur ini.

Menabrak Tembok Hukum Administrasi: Analisis Pelanggaran

Sebagai sebuah KTUN, pengumuman tersebut wajib memenuhi syarat sahnya keputusan sebagaimana diatur dalam UUAP. 

Sayangnya, dokumen ini justru memperlihatkan potensi pelanggaran yang sangat serius terhadap beberapa pasal dan asas krusial. 

Sebagai Bupati yang adalah seorang mantan hakim (Penegak hukum) harusnya melek dengan logika hukum dasar semacam ini. 

Pertama, Pelanggaran Asas Motivasi. Setiap keputusan pejabat negara yang berdampak pada nasib seseorang wajib memiliki alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini bukan sekadar etika, tetapi perintah undang-undang. 

Pasal 52 ayat (1) dan (2) jo Pasal 55 Ayat (1) UUAP yang secara tersirat menyatakan bahwa alasan yang digunakan harus jelas, faktual, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pengumuman Bupati Nagekeo gagal total memenuhi syarat ini. Ia hanya berlindung di balik frasa bahwa pembatalan dilakukan berdasarkan "surat kepala UPTD Puskesmas Kota...Perihal Permohonan Pembatalan" dan "surat...Perihal Bukti Dukung Pembatalan". 

Ini adalah pemindahan tanggung jawab, bukan penjelasan! Apa kesalahan faktual yang dilakukan ke-26 peserta? Apa isi dari "bukti dukung" tersebut? 

Apakah bukti itu sudah teruji kebenarannya? Pengumuman itu bungkam. Dengan menyembunyikan alasan substantif, keputusan ini menjadi gelap, terkesan arbitrer, dan secara terang-terangan melanggar kewajiban transparansi yang diamanatkan UUAP.

Kedua, Kepastian Hukum yang Tercabik: Pelanggaran Asas Kepastian Hukum. Warga negara menaati hukum dengan ekspektasi bahwa negara juga akan konsisten dengan aturannya sendiri. 

Hasil seleksi yang telah melewati tahap "Pasca Sanggah" seharusnya menjadi sebuah kepastian. 

Tahap sanggah adalah mekanisme final untuk verifikasi dan koreksi. Membatalkan hasil yang sudah final ini sama saja dengan menarik permadani dari bawah kaki para peserta.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved