Opini

Opini: Filsafat Ulang Tahun di Era Instan, Antara Lilin dan Kesadaran Eksistensial

Ulang tahun telah menjadi ritual yang nyaris otomatis dalam budaya modern—sebuah kebiasaan yang terus dilakukan tanpa jeda reflektif. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Perayaan ulang tahun yang sesungguhnya dapat menjadi titik untuk merenung tentang hidup, kematian, waktu, dan tanggung jawab, kini digantikan oleh perayaan-perayaan permukaan.

Kita takut pada keheningan, sebab keheningan sering kali menghadirkan kegelisahan eksistensial.

Maka kita memilih kegaduhan—musik, pesta, notifikasi—untuk menyingkirkan kemungkinan munculnya pertanyaan mendasar: Siapa aku? Mengapa aku ada? Untuk apa aku hidup?

Simone de Beauvoir dalam The Ethics of Ambiguity menyatakan bahwa manusia modern cenderung lari dari kebebasannya sendiri. 

Kebebasan itu berat, sebab ia menuntut kita untuk memilih dan bertanggung jawab atas makna hidup kita. 

Merayakan ulang tahun secara dangkal adalah salah satu cara untuk menunda atau menghindar dari beban tersebut. 

Kita rayakan, kita tersenyum, kita tertawa—tetapi setelah itu kita kembali ke kehidupan yang sama, tanpa perubahan, tanpa kesadaran baru.

Padahal, dalam akar sejarahnya, ulang tahun adalah peristiwa spiritual dan filosofis. 

Dalam beberapa tradisi kuno, ulang tahun adalah waktu di mana seseorang meninjau kembali hubungannya dengan alam semesta, para leluhur, dan tujuan hidupnya. 

Ia adalah titik evaluasi spiritual, bukan sekadar penambahan angka usia. Dalam filsafat Stoik, misalnya, para pemikir seperti Seneca dan Marcus Aurelius justru menyarankan manusia untuk setiap hari merenungkan kematian (memento mori) agar dapat menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Maka ulang tahun seharusnya bukan hanya perayaan kehidupan, tetapi juga peringatan akan kefanaan—sebuah panggilan untuk hidup lebih sadar.

Namun dunia hari ini tidak memiliki cukup ruang untuk merenung. Kita dibentuk untuk cepat, untuk konsumsi, untuk tampil, dan untuk bergerak terus-menerus. 

Ulang tahun pun menjadi bagian dari sirkulasi budaya ini—ia bukan lagi jeda, tapi hanya momen di antara dua notifikasi lain. 

Kita tak lagi diajak untuk hadir secara penuh dalam momen itu. Yang kita hadirkan hanyalah versi terbaik dari diri kita untuk dilihat orang lain, bukan untuk berdiam dalam diri sendiri.

Penting untuk disadari bahwa yang menjadikan sebuah perayaan bermakna bukanlah bentuk luar atau kemeriahannya, melainkan kedalaman batin yang menyertainya. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved