Opini
Opini: Kesejahteraan Guru yang Tertunda
Di kelas-kelas sekolah dasar hingga menengah di Kabupaten Sabu Raijua, para guru tetap hadir mengajar dengan dedikasi.
Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Di kelas-kelas sekolah dasar hingga menengah di Kabupaten Sabu Raijua, para guru tetap hadir mengajar dengan dedikasi.
Senyum mereka barangkali tidak luntur di hadapan murid-murid, tetapi di balik buku catatan dan papan tulis, mereka menyimpan satu kegelisahan yang sudah berlarut: hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Guru tahun anggaran 2023 yang belum juga terbayarkan.
Bagi guru-guru ini—yang sebagian besar juga mengabdi di sekolah-sekolah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)—tertundanya TPP bukan hanya sekadar penundaan angka dalam buku kas.
Ini berarti menahan kebutuhan sehari-hari, cicilan yang menumpuk, biaya pendidikan anak, hingga rasa terhormat sebagai seorang pendidik yang bekerja profesional.
Ironisnya, persoalan ini terus menggantung hanya karena menunggu proses penetapan perubahan KUA-PPAS APBD Tahun 2025 oleh pemerintah daerah bersama DPRD.
Dengan kata lain, kesejahteraan guru yang diatur secara nasional dapat begitu saja tersandera tarik-ulur politik dan administrasi lokal.
Janji Konstitusi yang Retak di Tepi Anggaran Daerah
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak setiap warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Dalam kerangka ini, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menempatkan kesejahteraan guru sebagai tanggung jawab pemerintah.
TPP adalah salah satu instrumen penghargaan atas beban kerja tambahan guru, sekaligus untuk menjaga motivasi serta kualitas pendidikan nasional.
Namun betapa menyesakkan, ketika regulasi yang kokoh itu tak berdaya di hadapan birokrasi anggaran yang lemah dan kompromi politik lokal yang lamban.
Penundaan pembayaran TPP guru di Sabu Raijua hingga lebih dari satu tahun ini menyisakan ironi pahit: hak konstitusional guru ASN menjadi seperti jaring laba-laba, kuat di atas kertas tetapi mudah robek dalam praktik pemerintahan sehari-hari.
Dampak Psikososial yang Nyata
Kita mudah terjebak memandang masalah ini sekadar angka—berapa ratus juta tertunda, berapa ribu guru terdampak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.